“Terbentuknya pribadi Muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan senantiasa bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta berkomitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”.
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia tidak terlahir dari ruang kosong. Perumusuannya
dilakukan oleh 13 tokoh insan cendikiawan yang kritis mengahadapi keotoriteran
penguasa kala itu, perencanaan matang serta istikharah yang panjang hingga berdirilah
organisasi PMII yang masih dibawah komando Mahbub DJunaidi selaku ketua umum
PMII pertama. Mahbub Djunaidi atau biasa dijuluki “Sang Pendekar Pena”
sangat lihai dalam menahkodai arah gerak PMII dimana saat itu fokus kritisnya
melalui tulisan-tulisan kritik yang ditujukan pada penguasa yang berlaku
sewenang-wenang, dengan menutup segala ruang aspirasi dan pendapat bebas dalam
ruang publik bahkan melakukan tindakan yang separatis dan anarkis bila mana ada
seorang Masyarakat sipil yang tetap melawan dan mengkritisi pemerintah.
Tentu anggota
dan kader PMII tidak tinggal diam melihat fenomena kala itu, organisasi yang di
pimpin Mahbub Djunaidi tetap bertekad untuk memperjuangkan keadilan dengan memberikan
lontaran kritik pada pejabat Negara. Dalam usianya yang masih muda sejak
berdirinya, PMII mulai disegani dan tidak dipandang remeh oleh organisasi
kepemudaan yang ada pada waktu itu, telah turut andil dalam ruang-ruang sosial
dan politik, terbukti dengan menjadi anggota forum pemuda sedunia di Moscow,
menjadi pimpinan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), berpartisipasi dalam
pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), dan bergabung dalam
kelompok cipayung serta berbagai aksi-aksi lainya.
Pada forum
Kongres IV pada 25-30 April 1970 di Makassar terdapat pembahasan Independensi
PMII dan ditindak lanjuti saat adanya Musyawarah Besar (Mubes) tahun 1972. Pada
mubes tersebut berbagai pembahasan independensi kemudian melahirkan rumusan
yang biasa disebut “Deklarasi Munarjati” pada Desember 1973. Sejak tercetusnya
Deklarasi munarjati inilah kemudian PMII dapat dengan bebas menentukan kehendak
dan idealismenya tanpa harus ada hegemoni internal dari siapapun, termasuk NU.
Namun tetap saja antara keduanya perlu ditarik benang merah secara pemahaman
ideologis, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah.
Faktor utama
independensi adalah karena keterbatasan gerak mahasiswa yang berada dibawah
struktural NU karena di akhir tahun 1950 situasi politik dan keamanan di tanah
air sedang bergolak dan NU masih belum menemukan titik kepercayaan dirinya
untuk memimpin sebuah wadah atau organisasi sehingga beberapa orang pemimpin
saat itu diambil dengan meng-NU kan para sarjana yang berasal dari luar
lingkungan nahdliyin. Bisa dikatakan marwah partai NU dihamburkan untuk
mendapatkan jabatan dan kedudukan kepada orang-orang selain jama’ah. Menyadari
timbulnya sikap-sikap pragmatis serta adanya kenyataan praktis dan psikologis
seperti ini yang semakin membuat mahasiwa terdorong untuk membuat wadah
sendiri.
Saat ini
organisasi dengan berbasis gerakan menuju usianya yang ke 64 tahun, tentu tidak
sedikit momentum dan sejarah dari terbentuknya pada tahum 1960 silam yang telah
banyak organisasi ini catatkan dalam mengawal dengan tetap memperjuangkan
esensi dari kemerdekaan republik Indonesia sesuai yang termaktub pada tujuan
PMII. Diusianya yang telah bertambah tentu penting bagi kita melakukan
refleksi, evaluasi, ataupun mengapresiasi atas segala bakti dan juang yang
telah anggota dan kader PMII lakukan selama ini. Jika di renungkan kembali, kita
dapat mengetahui nilai-nilai didalamnya yang dapat dijadikan sebagai pedoman
untuk berpikir serta bertindak yang saat ini perlu tetap kita jaga agar bisa
bertahan dalam menghadapi kondisi bangsa.
Seseorang yang
berada dalam roda organisasi PMII sudah sepatutnya menyadari bahwa degradasi
intelektual dan keagamaan dalam tubuh anggota dan kader PMII perlu untuk di
revitalisasi kembali. Sebagaimana mengetahui bahwa mulai terkikisnya ruang
kritis dan memudarnya ruang diskusi yang sudah menjadi lingkar budaya dalam
ber-PMII perlahan mulai tidak menampakan taringnya. Padahal jika mengingat akan
hakikat berdirinya PMII adalah perkumpulan yang diisi oleh kaum-kaum akan haus
ilmu dan narasi perjuangan, bukan perkumpulan kaum-kaum yang suka rebahan yang
meninggalkan ruang diskutsus kajian. Dengan demikian tidaklah mungkin nantinya
di usianya yang semakin menua PMII akan kehilangan kader dan anggota terdidik
yang semangat akan memperjuangkan kemaslahatan dan murka terhadap kebatilan.
Saat ini posisi
kader PMII seharusnya bisa lebih menyikapi hal ini dengan taktis dan sistematis
supaya dapat memberi pengarahan terhadap kader serta anggota lainnya untuk
kembali kepada khittoh dengan memberikan kontribusi pemikiran dan tindakan
dalam merawat kultur ideologi dan senantiasa mengawal gerakan perubahan, serta melangitkan
narasi maupun aksi perlawanan terhadap mereka yang semena-mena duduk pada tampu
kekuasaan dan dalam mengambil keputusan. Sudah saatnya anggota dan kader PMII
untuk mengisi pada basis-basis ranah intelektual, menjadi pakar hukum, menjadi
pakar ekonomi, menajadi pakar Pendidikan, menjadi pakar teknologi dan lain
sebagainya, bukan hanya menonton serta menjadi penikmat semata.
Sekali lagi
selamat memperingati hari lahir ke 64-Th pergerakanku semoga ilmu dan bakti
yang telah diberikan menjadi kebermanfaatan dalam lintas sejarah bangsa ini.
Untukmu satu tanah airku, untukmu satu keyakinanku.
0 komentar