WADON ORA DIDOL
                 (Perempuan Tidak Dijual)
                    Oleh : Novi Ramadani

Pernikahan merupakan kegiatan yang merubah suatu hal yang haram menjadi halal dengan syarat sah pernikahan telah terpenuhi. Tentunya hal ini harus sejalan dengan norma agama, norma hukum, dan norma sosial yang berlaku. Pemaknaan pernikahan tidak sesempit menghalalkan hubungan seksual saja, bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan biologis 
dan kehendak kemanusiaan, melainkan juga untuk mewujudkan keluarga yang Sakinah, Mawadah, Warahmah. Hal itu terwujud jika kedua mempelai secara agama, fisik, psikis dan ekonomi sudah mumpuni untuk membangun rumah tangga.
              Secara indikator, dikategorikan 
sudah “Mumpuni” apabila fisik (usia) sudah sesuai dengan kaidah islam dan hukum, psikis yang sudah dewasa dan siap, dan ekonomi yang cukup untuk menghidupi keluarga. Sayangnya, kurangnya pengetahuan karena minimnya pendidikan dan kultur masyarakat 
kolot di Indonesia mengesampingkan poin-poin tersebut sehingga menyebabkan maraknya pernikahan dini pada anak.                         Pernikahan dini masih menjadi masalah yang mengakar di Indonesia. Bahkan Indonesia adalah Negara ke-2 tingkat ASEAN dan ke-7 tingkat dunia terbanyak dalam persoalan pernikahan dini. Menanggapi permasalahan ini, pada tahun 2017 Negara telah menyepakati Judical Review pada UU Perkawinan No.1 tahun 1947 yang semula mengatur usia ideal pernikahan pada perempuan minimal 16 tahun dan laki-laki minimal 19 tahun,
menjadi laki-laki dan perempuan minimal usia menikah adalah 19 tahun. 
                Melihat sikap negara dalam pengupayaan penekanan laju pernikahan dini patut diapresiasi. Namun, ada beberapa hal diluar konteks hukum yang perlu diperhatikan oleh negara dan kita semua dalam menekan maraknya pernikahan dini. Beberapa diantaranya yakni: 
1. Kurangnya pengetahuan danpendidikan 
      Pendidikan adalah kunci perubahan. Tidak semua orang memiliki prespektif yang sama soal pendidikan. Sebagian besar masyarakat Indonesia mempresepsikan pendidikan lebih ke upaya sistematis untuk membentuk individu yang dapat bekerja ditempat yang bagus dan memiliki penghasilan yang layak. Tentu saja, sekilas tidak ada yang salah dalam pandangan ini. Apalagi jika dihadapkan pada realitas sosial-ekonomi yang semakin hari menuntut orang untuk dapat bersaing secara ketat memperebutkan pekerjaan yang layak dalam menunjang hidup. Tidak sedikit juga
masyarakat yang memiliki prespektif bahwa pendidikan itu tidak begitu penting 
terlebih bagi perempuan yang nantinya akan kembali pada Dapur, Kasur, Sumur.
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa pernikahan dini menyebabkan putusnya 
sekolah yang hal ini tidak hanya merugikan perempuan tapi juga laki-laki. Tidak berhenti disitu, akibat dari  perubahan zaman yang cepat dan kurang meratanya pendidikan di Indonesia menyebabkan minat untuk menempuh pendidikan juga rentan berkurang. 
2. Stereotip berbasis gender 
     “lhang golek bojo, ojo suwe-suwe lek nikah ben gak dadi perawan tuo” Diera disrupsi ini kita masih sering mendengar kalimat seperti itu. Stereotip atau pelebelan berdasarkan gender ini membangun konstruk berpikir anak muda yang menjadikan pernikahan sebagai first-plan ataupun jalan terakhir untuk menyambung hidup. Tidak hanya itu, belenggu stereotip juga sudah merenggut hak perempuan untuk memilih, menolak dan mempertimbangkan. Hal ini tidak muncul diera modern saja melainkan sudah melekat pada masyarakat tempo dulu. Dalam kasus pernikahan dini strata sosial yang menjadi acuan utama memunculkan stereotip bahkan merenggut hak perempuan. 
         Karl Marx, membagi kelas sosial menjadi dua yakni kaum borjuis dan kaum proletariat. Jika kaum borjuis adalah pemiliki modal dan tuan tanah, sedangkan kaum proletariat adalah buruh tani. Para kaum pada kelas proletariat akan menganggap “perempuan adalah aset”yang kemudian bisa dijodohkan pada orang-orang kaya kalaupun tidak dijodohkan para perempuan akan “dipekerjakan”. Selain stereotip, hal yang berhubungan mengenai gender adalah ketimpangan relasi kuasa yang menyebabkan munculnya hubungan patron-klien, seperti orangtua-anak.
3. Kurang maksimalnya pemberdayaan             Sumber Daya Manusia 
       Pemberdayaan Sumber Daya Manusia menjadi tonggak dobrakan pemikiran-
pemikiran kolot. Dibanyak daerah, pemberdayaan yang masih kurang ini 
menyebabkan para perempuan despressed atau putus asa untuk mengembangkan diri ditengah perkembangan zaman yang pesat. Kabar buruknya adalah banyak sekali 
kasus perceraian rumah tangga dini yang kemudian menuntut perempuan harus 
menghidupi anaknya dan memilih untuk bekerja prostitusi karena mereka tidak 
memiliki kualitas yang cukup untuk bekerja dengan halal atau kurangnya lapangan pekerjaan menyebabkan para laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga muda putus sekolah lalu menganggur sehingga finance dalam rumah tangga tidak stabil.
           Dari beberapa kekurangan yang disebutkan, jelas sekali gerakan-gerakan kecil seperti penanaman budi pekerti, pemberdayaan UMKM, pendidikan yang layak, edukasi seks, dan pendidikan agama dll untuk menekan laju pernikahan dini membutuhkan uluran tangan
pemerintah dan kesadaran kaum muda. Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf dan juga penyair asal Jerman ini mengatakan “Jangan menikah hanya karena cinta, namun menikahlah dengan orientasi pada lahirnya generasi-generasi hebat dan berguna bagi bangsa dan Negara (Super
Babies)”. Artinya, baik buruknya generasi mendatang ada pada tangan kaum muda diera ini. Jangan menjadikan pernikahan sebagai tujuan. Jika mengutip dari dawuh Ning Imaz Fatimatuz Zahra, Pembina PP Lirboyo, Kediri “Menikah adalah bagian dari perjalanan hidup. Maka, sebelum memasuki tahap itu pengembangan kualitas diri menjadi lebih bijak untuk
diprioritaskan”. Keputusan mengambil langkah untuk menikah muda tidak salah dan tidak pernah salah. Tetapi jika orientasi dari menikah adalah untuk mencari kelayakan hidup atau hanya untuk urusan duniawi saja merupakan pikiran yang harus diluruskan. Allahmenjanjikan kekayaan pada pernikahan yang berorientasi untuk Ibadah (QS.An-Nur:32).
Wallahualam Bissawab