Dear: Bapak-ibu

Dalam belantara sosial, kita sama-sama bercita mencapai kebijaksanaan. Meskipun begitu sulit untuk tergapai. Namun dari itu saya tahu bapak-ibu sudah menjadi apa dan sebagai apa. Namun kenalkah bapak-ibu dengan diri kalian. 

Dalam cengkrama pagi yang cerah. Yang mungkin sekali bapak-ibu masih nyaman dengan kata terlelap. Saya kembali menemukan  kata unik dari Socrates "Gnoti's Afton" (Kenalilah dirimu). Setelah kemarin surat saya tidak terbalaskan, saya harap bapak-ibu masih sehat dan hidup di belantara sosial sana. 

Soal kenalilah dirimu. Jadi begini bapak-ibu, tiada tempat terindah kecuali ruang simbol alfabet dan ruang kalimat buat curhat. Dalam Nahwu kalimat adalah "Huwa Lafdzul Murokkabul Mufiedzu bil Wad'i" Yang berarti: Al Kalam (kalimat) adalah Lafadz yang tersusun dan memiliki faidah dengan sebuah tujuan". Jadi bapak-ibu kemarin saya menulis surat itu, yang terdiri dari lafad (kata-kata) dan tersusun menjadi kalimat itu. Bukan lain untuk mengingatkan tentang siapa kalian. Kok agaknya tidak berfaedah karena tak terbalaskan. 

Saya takut, kemarin bapak-ibu tak paham dengan  tulisan saya. Ingat bapak-ibu, sesepuh kita mengajarkan kita untuk mencatat dan munulis. Makanya sampai tersemat "pendekar pena" Buat Mahbub Junaidi. Dari itu Gnoti's Afton (kenalilah dirimu) bapak-ibu, buat kenal siapa dirimu kamu harus tahu dari mana asalmu dan sebagai apa dirimu sekarang. Pernahkah kalian memikirkan hal itu,    bukankah bapak-ibu sudah mengkoarkan Cogito Ergo Sum "Rene Descartes" Itu?. 

Alangkah mubazirnya bapak-ibu, ketika media tempat menampung keluh kesah soal belantara sosial, mulai dari ekonomi, politik, kultur, gender bahkan cinta dan kekuasaan tidak ada gairah untuk diabadikan lewat kalimat dalam bentuk tulisan. Memang begitu kurang sederhana cita-cita saya bapak-ibu, seperti kita harus berperang dengan diri kita sendiri yang pemalas dan menaruh ekpetasi tinggi bahkan tak terhingga sampai menembus angkasa, sedangkan buat konsisten saja kita tak mampu. Kita sudah seperti penghayal terbang menemani bulan, menembus universe dan menyatukan galaksi yang tak terbatas itu. Nyatanya, kita masih tidur dan tak mau mencatat mimpi kita. Siapa tahu generasi kita bisa mewujudkannya. 

Bapak-ibu saya harap jangan patah semangat. Dalam keadaan saya yang terluka ini, keadaan hati yang sedang parau menunggu surat balasan. Saya jadi mengingat bagaimana Kartini menulis surat secara konsisten hingga lahirlah "Habis Gelap Terbitlah Terang", Tan Malaka yang terbuang ke negeri antah berantah mampu menuliskan " Madilog, Dari Penjara Kepenjara, Aksi Masa, Nar De Republika, Merdeka 100℅ dll, Soekarno dalam kepungan kolonialisme sekalipun mampu menulis artikel dan terkumpul menjadi "Di Bawah Bendera Revolusi". 

Apakah tidak mungkin lagi, lahir pendekar pena itu di dalam  belantara sosial yang kita konsesuskan jadi "Rayon FEBI". Saya rasa samuraipun sudah ada, buktinya ada banom alienasi. Akan tetapi, siapa yang hendak menghunuskan samurai itu. Kalau tak bisa meniru Mahbub menjadi pendekar pena, maka saya harap bapak-ibu, kalian perlu melahirkan ninja pena. Yang tentunya mampu menghunuskan samurainya untuk insan ulul albab dan mustad afin (proletariat) untuk melawan penguasa realitas yang dengan sombongnya tak sadar menganggap dirinya paling berkuasa hingga melegalkan penindasan. 

*penghuni penjara realitas*