Ilustrasi Gambar
Suatu ratap nestapa di negeri ini, banjir jakarta masih terbendung, banjir air mata terlalu merasuk, alot, di tengah bangsaku yang gemerlap.
Suatu ratap nestapa di negeri ini, banjir jakarta masih terbendung, banjir air mata terlalu merasuk, alot, di tengah bangsaku yang gemerlap.
Gelar kehormatan semakin banyak kursi tersedia, tapi sejengkal tempat duduk tak terpenuhi untukku yang berkainkan angin malam, Berdasikan keringat darah, bertahtakan topi usang bekas mencari sampah.
Khilafah, pemimpin yang menjadi sandaran, Mana tempat bersandarku? Pundakmu terlalu penuh oleh beban memperbaiki negeri, agar tampak jaya di mata mereka, Tapi bagaimana denganku yang kecil ini, Bahkan se-untai benang bajumu tak dapat ku raih,untuk sekedar membalut sedikit hatiku yang berdarah.
Para wakilku, yang mengaku berjuang berikrar dari, oleh, dan untukku, dimana tanganmu? Tidak kah dapat kau ulurkan meski sejari saja? Aku hampir tenggelam dalam sulitnya mencari makan, yang mungkin seringkali kau buang sebab kenyang.
Untuk mereka yang sampai menjual kehormatan, kau sedang tersenyum tertawa,nikmatnya. Merekapun sama,menikmati sengit serangan sakitnya jiwa. Yang mungkin raungan tangispun tiada guna.
Para cendekiawan yang tenar oleh kefasihan melontarkan teori hidup sejahtera, aku ini bagaimana? Bisakah teorimu memberiku sepiring nasi dan sedikit hunian layak? Atau sekedar menyembunyikanku dari bengisnya angin malam dan terik mentari siang? sejahtera bagimu itu, Apa bagiku?
Suguhan janji di setiap periode pergantian para penipu berbusana rapi, sampai mual aku mendengarnya. Dimana pemimpinku? Yang mau ikut menangis oleh karena tangisan sedihku. Hidup di negeri kaya, Namun fakir nyatanya.
Penulis : Feby Nurjannah
Editor : ARK
0 komentar