Doc. Redaksi

Puluhan burung bangau telah melintasi beberapa altar rumah tua yang rata-rata tak berpenghuni. Hari itu adalah hari selasa agustus. Entah kenapa pra rombongan bangau seperti ingin hijrah dari laut utara ke laut selatan atau hanya ingin bersenang-senang saja. Tapi, sudah lah aku tak mempermasalahkan gerombolan burung itu. Tugas ku sebagai rakyat murba masih perlu untuk mendapatkan beberapa rezeki berupa uang berlimpah untuk mewujudkan cita-citaku, memberangkatkan haji kedua orang tua ku yang sudah lanjut usia. Namun bagi ku dan bagi orang lain, orang tuaku sepertinya sudah tidak pantas lagi untuk pergi menunaikan ibadah haji tersebut. Dikarenakakan memang kondisi ibu dan bapakku telah cukup tua. Namun yang membuatku tak patah semangat dalam mencangkul, menyiram, membajak dan mengairi sawah-sawah para tetanggaku adalah tekad bulat ibu dan bapakku untuk selalu beribadah dan mendoakanku seorang anak yang memang dilahirkan tunggal.

Namaku adalah Dzulkifli. Masyarakat di desaku menyapaku dengan kifli. Aku terlahir dari pasangan murba sisa-sisa penjajahan belanda dan pendudukan nipon. Ibu ku Fatimah dan bapakku Muamar. Masyarakat memanggil bapakku dengan sebutan pak Kembar atau K Kembar, entah mengapa bisa demikian tapi yang menurut riwayat dulu bapak pernah di jerat paksa oleh sistem romusa oleh jepang. Bapak ku pernah menghilang selama tiga tahun. Menurut cerita bapak dan para tetanggaku, puteri orang jepang pada kala itu sangat jatuh cinta kepada bapakku karena memang bapakku sangat tampan dan perkasa pada saat muda. Sampai-sampai orang jepang yang menjajah indonesia kala itu menikahkan Muamar muda dengan puteri jendral jepang dengan secara paksa. Setelah dua tahun kehidupan ayah bersama puteri jendral tersebut bukan tambah baik dan layak. Tapi, sebaliknya malah bertambah buruk dan puteri jendral jepang itu hamil dan melahirkan dua anak kembar sekaligus, tapi kemudian meninggal beserta ibunya. Selama periodesasi dua tahun Muamar muda telah banyak makan asam garam karena pemaksaan oleh sang jendral dan putrinya. Tak terbayangkan bagaimana bapakku dulu di selalu disiksa karena selalu ketahuan memberikan bantuan kepada rakyat yang terjerat romusa kala itu. Bahkan bapakku memberikan solusi agar rakyat yang terjerat oleh romusa itu bisa terbebaskan. Sebaliknya, terkadang bapakku ketahuan oleh tentra jepang dan dilaporkan kepada jendral, kemudian bersiaplah bapakku menerima hukuman eksekusi cambukan di sekujur tubuhnya. Sudah puluhan kali bapakku disiksa oleh penjajah jepang, namun tak sesekali dia mengurungkan niatnya untuk membuat rakyat yang terjerat romusa bisa merdeka dan bebas dari jeratan romusa tersebut.
Malam itu adalah malam purnama malam 15 agustus 1945. Didalam penjara tempat rakyat romusa dan bapakku kedinginan dan kelaparan. Mereka kemudian sama-sama berpikir bagaimana sebenarnya bisa melumpuhkan tentara jepang. Tiba-tiba dalam berpikir.

“Kenapa kita tidak berdoa dulu kepada Allah” (kata Ghozali) salah satu anggota romusa yang berasal dari sumatera. Ayahku dan para teman-temannya yang menderita terpaku melihat ghozali karena dengan wajah yang tenang dia memberi ide yang cukup cemerlang.
“benar sekali ucapanmu bung, kita sudah lama tidak berserah diri kepada tuhan kita. Allah SWT” ucap ayahku kala itu.
Akhirnya muncul ide para anggota tahanan romusa di sel bapakku, mereka sepakat untuk izin keluar dari sel tersebut sebentar untuk menunaikan ibadah sholat tahajjud. Setelah menunaikan ibadah sholat tahajjud dengan pengamanan ketat para tentara jepang. Sekitar 20 orang termasuk bapak dan pamanku menyusun strategi untuk kabur dari jeratan jepang saat itu. Entah bagaimana pada akhirnya bapak dan pamanku bisa lolos dari penjagaan prajurit jepang saat itu bersama 15 anggota tahanan kala itu. Kelima anggota tahanan harus meregang nyawa di tangan prajurit jepang termasuk diantaranya Ghozali. Bapak dan pamanku kemudian berlayar dari surabaya menuju pulau Madura. Dengan menyamar menjadi prajurit jepang yang melakukan patroli para lima belas anggota tahanan itu menyebar pulang ke rumahnya masing-masing. Termasuk bapak dan pamanku dengan pakaian lengkap layaknya tentara jepang ikut kedalam kapal jepang dengan tujuan pulau madura. Kapal itu tidak begitu besar. Malam itu tepat pada dinihari entah pukul berapa. Akhirnya bapak dan pamanku sampai pada pulau madura. Tepat pada tanggal 16 agustus di ujung barat pulau madura yaitu bangkalan. Bapak dan pamanku diketahui oleh tentara jepang sebagai tahanan romusa yang kabur. Sangat aneh sekali setelah bapak dan pamanku ditahan selama satu hari satu malam. Tepat pada pukul 12:00 tanggal 17 agustus 1945 bapak dan paman dilepaskan. Entah tidak mengerti kenapa jepang melakukan demikian kata ayahku. Tapi, berita pertama bahwa jepang telah kalah terhadap sekutu dengan dijatuhkannya bom atom di Hirosima dan Nagasaki.

Fajar telah menyingsing pada tanggal 18 agustus 1945 pamanku menghembuskan nafas terakhirnya di pamekasan karena dehedrasi parah. Akhirnya bapakku ikut rombongan para tahanan lainnya ke arah sumenep menggunakan mobil jep. Bapakku kemudian baru tahu diatas mobil jep tersebut bahwa Indonesia telah diproklamerkan oleh Bung Karno sebagai bangsa yang merdeka pada tanggal 17 agustus 1945. Sesampainya di sumenep bapakku kemudian menikahi fatimah Ibuku seorang putri kepala desa yang cantik dan kaya. Tetapi bapakku Muamar dan ibuku Fatimah memilih hidup mandiri tanpa bergantung terhadap kekayaan ibuku. Begitulah segelintir cerita dibalik pak Kembar atau K kembar sebutan ayahku. Entah benar atau tidak aku tak tahu.

Dzul....
Dzulkifli.....
Ada orang memanggil namaku siang 17 agustus 2000, saat aku sedang mencangkul di sawah milik Bu Maryamah. Ternyata orang itu adalah bu Maryamah.
“Dzul mara mole wa epakna ben embukna posang ka be’na. Wa temmo robhu neng e ampera, sateya la epasaren eranjangah wa”
Bu Maryamah memaksaku untuk pulang ke rumah tuaku karena ibu dan bapakku sedang mencari dan menyebut namaku diatas ranjang tua.

Tanpa kata pun aku kemudian berlari menuju rumahku untuk menjenguk kondisi bapak dan ibuku. Sesampainya disana sudah banyak kerumunan warga. Entah mengapa aku semkin gelisah melihat dari kejauhan, setelah sampai di depan rumah aku lagsung masuk ke rumahku tanpa membasuh kaki dan tanganku yang berlumpur agak kering. Karena percuma meskipun ku basuh kaki dan tanganku akan kembali kotor ketika menginjak rumahku. Karena memang tidak beralas, tidak bertehel, tidak berkeramik apalagi bermarmer. Alangkah terkejutnya aku ketika aku meihat bapak dan ibuku sudah tidak bernyawa lagi di atas ranjang. Mereka meninggal secara bersamaan dan bersamaan pula meninggalkan aku untuk hidup sebatang kara. Sungguh kejadian itu tak terbayangkan olehku, aku sangat terpukul aku sangat sedih sekali kala itu sehingga jika aku mengenang dan mengingat mengingat masa itu aku meneteskan air mataku.

Aku sendiri
Ibarat api yang menyala namun redup
Aku hampir mati
Mengapa kau biarkan aku hidup
Mengapa kau tak buatku mati
Aku tak berdaya tanpa ibu dan bapakku
Aku ibarat murba saat ini
Namun bukan purba kala prasejarah
Buatku aku tak merdeka
Bagiku aku tak merasakan indonesia ini merdeka
Setelah tepat pada harlah bersejarahnya.
Tuhan, engkau ambil ibu dan bapakku
Indonesia macam apa
Indonesia bagaimana
Aku ini sudah kehilangan orang tercintaku malah aku hidup melarat
Orang-orang memandangku sebagai buruh, sebagai murba, sebagi tempat uji coba
kerja sama
Di bumi indonesia
Haruskah aku menjadi menjadi kapitalis, liberalis yang menghalalkan segala cara
Atau aku harus jadi sosialis, komunis yang dibuat seperti robot.

Telah beberapa tahun bapak dan ibuku meninggalkan aku di bumi. Kata para tokoh agama di desa ibu dan bapakku telah berhijrah ke alam barzah. Semoga ibu dan bapakku diberikan tempat yang nyaman dan selamat di sana juga kelak samapai pada akhirat. Aku tetap seperti Dzulkifli yang hidup sebatang kara, tak punya harta. Menjadi buruh tani yang berpindah-pindah dari sawah ke sawah dari ladang ke ladang demi memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Menjadi buruh tani di tahun modern. Tak ubahnya seperti kaum murba pada masa lampau tapi bukan kaum purba yang hidup sejahtera dengan kekayaan alam di sekitarnya karena hidup adalah nomaden katanya. Bagaimana nasibku saat ini mengapa aku terlalu percaya diri bahawa aku ibarat kaum murba, nasib sangat mungkin bisa dirubah ketika aku bekerja keras dan banyak berdoa tawakkal kepada pemegang sekenario hidup yaitu Allah SWT. Mudah-mudahan ini bukan takdirku menjadi kaum yang selamanya akan murba. Aku hidup pada era modern dimana tuan tanah sudah terkonstruk hati dan pikirannya untuk seperti borjuis  atau diktator.

Kebanyakan aku dipekerjakaan di sawah hanya untuk pemanfaatan tenagaku seorang Dzulkifli. Tapi aku bersyukur aku masih di beri makan dan minum oleh para pemilik sawah, sesekali ada pemilik sawah yang baik hatinya namun jahat mulutnya dengan memberikan aku upah untuk aku tabung. Tapi, dia malah membicarakan kerjaanku kepada orang lain bahwa aku bekerja kurang bagus dan kurang memenuhi hatinya. Sepertinya aku hidup terjajah di negeri yang katanya merdeka setelah memerdekakan diri secara de facto dan de jure. Mungkin masa dulu para pejuang termasuk cerita bapakku berjuang melawan gencatan senjata secara langsung yang secara gamblang akan dimenangkan oleh pemangku kuasa kala itu. Namun, saat modern dimana aku hidup sekarang sebagai Dzulkifli yang kehilangan arah untuk hidup di negri sendiri. Aku dan rakyat indonesia seperti layaknya murba yang strategis tempat penanaman doktrin kapitalis dan borjuis.

Setelah lama aku jadi buruh tani, akhirnya aku disarankan untuk berangkat ke ibu kota jakarta oleh para tetanggaku yang perihatin dengan nasibku. Akhirnya lewat rasa nekat dan sumbangsih uang dari para tetangga, aku berangkat ke jakarta dengan uang sumbangsih tetangga dan uang tabungan hasil profesiku sebagai buruh tani. Detik itu aku tahu bagaimana yang dimaksud urbanisasi. Sebagai individu yang berurbanisasi tentu mempunyai tantangan yang begitu sangat besar dalam menjalani hidup di Jakarta. Merantau kata paling eloknya setelah aku sampai pada ibu kota jakarta pada 17 agustus 2017 setelah banyak penderitaan yang ku alami di desa. Di Jakarta aku ternyata bagai cacing yang tersengat sinar matahari kelaparan, kedinginan dan kehausan sebab aku harus terjebak sebagai seorang yang berpredikat sebagai perantau yang tak tahu haluan mau apa sebenarnya aku.

Di Jakarta aku akhirnya tahu bagaimana bendera besar dikibarkan dengan corak warna merah putih sebagai lambang bendera bangsa. Di Jakarta pula aku tahu bagaimana orang jahat menjadi orang berpura-pura baik, pereman berdasi di baleho terpampang sebagai tersangka korupsi tetapi malah tersenyum asyik-asyikan, pereman angkot, pereman jalanan yang babag belur dihajar oleh warga karena ketahuan mencuri, para anak remaja, siswa, mahasiswa dan artis kondang berbarengan di gelandang oleh polisi ke penjara yang katanya terjerat NARKOBA. ‘’Aku ini individu murba’’ pekik hati kecil ku setelah aku menyesal tahu bagaimana kerasnya pergaulan di Jakartan yang mungkin akan menjadi kota yang tetap terjajah oleh moral, akhlaq dan sifat-sifat munafiq para pemangku kaum borjuis. Aku Dzulkifli hanya mampu menilai karena aku sebagai murba yang tak punya keadilan di ibu kota.

Penulis : Roziki
Editor : Tim Redaksi