Doc. Redaksi

Mendengar kata Pemuda, secara otomatis hati nurani kita akan bertolak kepada sejarah awal pendirian bumi pertiwi yang kita injak sampai detik ini. Memang benar, sejarah mencatat bahwa pemuda tak bisa begitu saja di lepaskan dari Negara yang di sebut Indonesia ini. Seperti hal nya yang pernah terjadi di kota Surabaya pada tanggal 10 November 1945 yang di kenal dan di kenang sebagai Hari Pahlawan. Sedikit berbicara momentum tersebut, maka tak boleh dilupakan akan adanya Rapat Raksasa Tambaksari pada tanggal 21 September 1945. Rapat tersebut bukan hanya pertemuan masal belaka, akan tetapi rapat tersebut juga di akhiri dengan ikrar kebulatan tekad “Merdeka atau Mati”. Artinya, rapat tersebut juga ikut andil dalam membakar semangat pemuda dan rakyat Surabaya dalam berjuang dalam mempertahankan Republik Indonesia. Oops, sampai sini dulu ya sentilan sejarahnya hehe 😊

Akan tetapi sontak kita akan kaget ketika melihat kehidupan para pemuda di zaman now seperti sekarang ini yang sudah bisa di bilang agak sedikit lupa akan sejarah bahkan cenderung apatis terhadap dunia dan sekitarnya. Memang tidak salah ketika salah satu senior saya yang mengatakan “pemuda yang sekarang jangan di samakan dengan pemuda zaman dulu, meskipun mereka tidak menyandang gelar mahasiswa akan tetapi jiwa nasionalisme dan jiwa sosial mereka sangat tinggi”. Ujar kepala bidang PSDM pada saat kami melakukan konsolidasi agenda kaderisasi MAPABA beberapa bulan yang lalu.

Pada zaman yang semakin tak menentu seperti sekarang ini, masyarakat yang juga termasuk pemuda di dalamnya ya termasuk saya, tengah di belenggu oleh nilai-nilai globalisasi dan kapitalisme modern yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka, dimana mereka begitu sangat cepat memperoleh arus  penyebaran unsur-unsur yang bersifat baru, khususnya menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak maupun elektronik. Proses globalisasi seperti ini membawa dampak yang posisitif dan negatif. 

Bagaimana tidak ? Secara mudah mereka akan mendapatkan informasi terbaru, mudah melakukan komunikasi, memacu dalam pengembangan diri, dan juga sangat mudah memenuhi kebutuhan diri, termasuk kebutuhan perut. Hehe ( .Tapi di satu sisi, dampak negatif yang akan di dapat seperti informasi yang tidak tersaring, mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan/kebudayaan suatu masyarakat/negara dan juga mudah meniru perilaku buruk. Kesemuanya ini akan membuat dunia se akan-akan semakin mengecil dan cenderung adanya sifat ketergantungan. 

Pertanyaannya kemudian, lalu bagaimana peran seorang Mahasiswa dalam mengahadapi hal ini ? sepertinya tak salah ketika berbicara soal pemuda konotasinya lebih mengarah kepada mahasiswa. bagaimana tidak, mahasiwa memiliki peran yang sangat penting dalam mengawal bangsa ini, yang memiliki trifungsi di pundak mereka. Seharusnya mahasiswa harus berfikir kritis dalam menyikapi bangsa yang sudah mulai sakit seperti sekarang ini. Karena berfikir merupakan suatu proses pencarian gagasan, ide-ide, dan konsep yang diarahkan untuk pemecahan masalah. Artinya, mereka harus benar-benar obyektif dalam melihat sesuatu yang nantinya juga akan berdampak pada tumbuhnya sikap peka dan  peduli, lebih-lebih tumbuhnya sikap Nasionalisme.  

Sikap kritis dapat dibangun melalui peningkatan intelektualitas mahasiswa dengan menumbuhkan budaya membaca, menulis, dan berdiskusi. Jadi jangan salah bung, ini juga konsekuensi kalau jadi mahasiswa heheee. Jadi untuk para pemuda pemudi zaman now, sekarang sudah bukan zaman nya lagi untuk berperang, setidaknya kita sebagai pemuda yang masih merasa bangga menggunakan almamater sudikah kiranya kita mengoptimalkan dan menjalankan sesuai dengan apa yang disebut mahasiswa ?? jawab saja sesuai hati nurani kita masing-masing hehe..  ðŸ˜Š

Penulis : Ulum
Editor : Tim Redaksi