Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih

Suci lahir dan di dalam batin

Tengoklah ke dalam sebelum bicara

Singkirkan debu yang masih melekat. (Ebit: 1982)

Kita tidak usah serius dan tegang membahas soal ini sahabat, karena ilmu itu cepat merasuk kedalam sanubari kalau kita dalam keadaan enjoy menerima ilmu tesebut. Apalagi tulisan ini hanya sebatas refleksi semata terhadap diri kita yang mengaku sebagai keluarga besar pergerakan mahasiswa Islam Indonesia. Dalam hal ini kita akan memikirkan ulang tentang kebiasaan ngopi dan diskusi kita soal bangsa, negara dan agama Islam yang kita anut. Sebenarnya telalu lancang penulis memberikan judul tulisan Islam itu, Islam ini? PMII yang mana?. Secara garis besar Islam ya suatu agama yang diajarkan oleh nabi muhammad SAW, dengan berpedoman kepada al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturukan ke bumi oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril (KBBI). 

Sahabat, pernahkah kalian mendengarkan lagu ebit yang berjudul “untuk kita renungkan?”, ini menjadi kunci utama mengapa saya letakkan sebagian bait yang menyentuh hati pada awal tulisan ini. agar supaya kita dapat merefleksikan secara bersama bagaimana rutinitas ngopi dan diskusi kita selama ini, terutama soal Islam dan sejauh mana kita memahami dan melaksanakan segala amal shaleh sesuai dengan tuntunan Islam.

Sebenarnya apa sih yang mau kita renungkan kembali soal Islam sahabat, apa iya ada Islam ini dan itu?. kita sepakat bahwa Islam ya satu, tidak ada Islam ini itu. Akan tetapi karena terkadang kita ikut larut pada trauma besar sejarah saat wafaatnya rasullah Muhammad dan tidak ada yang sepadan dengan beliau sebagai panutan karena memang rasul terakhir. Maka kegalauan umat Islam menjadi-jadi dengan bukti bahwa hal tersebut sebenarnya sudah di prediksi oleh nabi Muhammad bahwa umatnya akan terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan yang selamat hanya satu yaitu golongan yang mengikuti rasulullah dan para sahabatnya. Hingga umat Islam mengakui bahwa golongan tersebut adalah ahlussunnah wal jama’ah.

Puncak galau yang paling memilukan di tengah umat Islam, adalah ketika lahir firqoh-firqoh dalam Islam yang sebetulnya berlandaskan atas kepentingan untuk berebut menjadi penguasa. Sehingga muncul syiah, khawarij, murjiah, jabariah, qodariah, mu’tazilah, Sunni dan lain sebagainya. Akan tetapi kita tidak usah telalu masuk terhadap pembahasan mengenai firqoh-firqoh tersebut, karena akan menuntut kita untuk berdiskusi dan menulis cukup panjang mengenai ilmu kalam. Cukup kita batasi soal refleksi kita terkait pemahaman Islam dan Amal kita sebagai kader PMII tercinta ini dalam merekam perjalanan Islam di masa modern ini, dengan munculnya berbagai istilah seperti Islam Radikal lah, Islam Moderat lah, Islam Liberal lah dan lain sebagainya, yang semuanya sama-sama mengaku bahwa golongannya adalah ASWAJA.

PMII sudah memfasihkan dirinya dengan menjadikan Aswaja sebagai landasan berfikir dan bergerak tentunya dengan nilai moderat, toleran, adil dan seimbang. Sehingga PMII mampu menjaga Islam yang membawa rahmat terhadap perbedaan umat manusia dimanapun dan kapanpun. Tapi, itu merupakan konsepsi semata. Mari kita telaah bersama. Kita selaku bagian dari keluarga besar PMII apakah benar-benar menerapkan nilai Aswaja tersebut terhadap diri kita pribadi minimal, atau bahkan menerapkan pada manajemen organisasi kita tercinta PMII ini, atau perlu untuk kita ragukan kembali kita ini sudah moderat apa tidak, toleran apa tidak, adil apa tidak, seimbang apa tidak?. Jawabannya tentu ada pada kalian masing-masing.

Coba kita berfikir sejenak mengenai PMII hari ini bagaimana, kondisi kader bagaimana, nanti lima puluh tahun kedepan PMII ada atau tiada?. Kapasitas kader yang cukup melimpah tentu anugerah. Akan tetapi akan menjadi bencana besar apabila tidak diimbangi dengan pemahaman dasar soal nila-nilai yang ada di PMII. Contoh kecilnya ketika kita berdiskusi dengan junior kita atau bahkan senior kita, mengenai pemahaman nilai-nilai aswaja, terkadang kita seperti orang bijak ketika berdiskusi dan mencuil-cuil atau bahkan sampai mengucilkan dalam pikiran kita golongan-golongan Islam radikal dan terorisme. Padahal belum tentu kita itu memberikan kenyamanan dalam tanda kutip ancaman terhadap senior atau junior, atau bahkan kita cenderung larut pada toleransi dalam konsepsi semata. Tapi malah menjadi menghalalkan segala cara ketika harus berkontestasi dalam perebutan kekuasaan struktural organisasi, atau tatkala kita gagal memberikan contoh yang baik ketika menerapkan ketauhidan, hablumminallah, hablumminannas, hablumminalalam karena kesibukan kita mengurus kebiasaan mendekte kesalahan golongan lain diluar kita. Lantas dimana Aswaja kita ketika seperti itu.

Menjadi kehawatiran bersama ketika nanti kader-kader PMII melupakan hal-hal sepele seperti wudhu’, sholat, tahlilan, wiritan, sholawatan dan lain sebagainya yang menjadi identitas kita sebagai kelurga PMII. Perlu dikoreksi bersama bagaimana pemahaman mendasar tentang parktek wudhu’ misalnya sesuaikah dengan ajaran Islam atau bahkan kita jarang berwudhu’ dan jarang sholat karena alasan sibuk pembelaan kaum mustadzafin, kemudian bagaimana marwah PMII ketika kita mengaku sebagai bagian dari PMII tetapi tatkala disuruh memimpin pembacaan tahlil main lempar sana-sini, karena tidak tahu dan itu dilakukan di depan para adik-adik sebagai penerus kita di PMII saat masa depan nanti, atau kita memang sholat dan juga wiritan ketika kita memohon agar kegiatan organisasi PMII atau bahkan demo berjalan dengan lancar dan sesuai harapan, atau bahkan tidak sama sekali. Juga lalainya kita dalam kegiatan-kegiatan lain yang mencermikan bahwa kita mantap menggunakan Aswaja dalam pola pikir dan pola gerakan organisasi.

Sesuai dengan lirik lagu ebit kita “harus tengok kedalam sebelum bicara, Singkirkan debu yang masih melekat”. Menjadi sangat risau ketika kita banyak bicara dan diskusi persoalan menangkal radikalisme dan terorisme misalkan akan tetapi hal-hal yang mencoreng marwah PMII di mata khalayak umum atau bahkan secara khusus para pelaku teror. Hingga akhirnya memberikan kesempatan bagi pelaku teror untuk meracuni para penerus PMII di masa depan untuk ikut bersama dalam jaringan terorisme?, semoga hal itu tidak akan pernah terjadi. Maka tentu menjadi tanggung jawab kita bersama agar Islam yang berhaluan Ahlusssunnah waljama’ah benar-benar kita terapkan pada kehidupan kita dan generasi kita selanjutnya. 

Kita patut bersyukur telah mengenal PMII sesuai dengan Hyimnenya yaitu tumbuh subur kader PMII, mengingat dalam catatan data sudah terdapat 230 cabang dan 24 koordinator cabang di seluruh Indonesia berdiri sampai saat ini. Akan tetapi jumlah pasti kader PMII diseluruh Indonesia masih cenderung tidak terdeteksi secara utuh dan rapi.

Perlu diakui bersama pencatatan kader organisasi yang kita cintai ini masih cukup lemah dan tentunya ini menjadikan bahan refleksi kita bersama agar supaya kader-kader PMII di seluruh Indonesia bisa terdeteksi begitupun dengan alumninya. Yang kita khawatirkan bagaimana jadinya kalau bagaian dari kita harus bertengkar satu bendera soal perebutan menjadi penguasa. Yang sebenarnya, kalau kita renungkan kembali kepada sejarah Islam setelah wafatnya rasulullah perebutan kekuasaanlah yang memunculkan berbagai firqoh-firqoh. Naudzubillah kalau kelak penerus kita di PMII melahirkan sempalan-sempalan PMII yang cenderung menyimpang dari tubuh dan tujuan PMII.

Setelah merenungkan kebiasaan kita dalam organisasi ini. lantas pikirkan jawaban atas judul tulisan ini. agar kita tidak cenderung bangga atas kebesaran organisasi, melainkan kita akan berkontribusi apa terhadap negara, bangsa dan agama Islam ini melalui PMII. khusunya pada sahabat-sahabat kita yang berlatar belakang non pesantren yang belum begitu kenal dengan persolan-persoalan Islam beserta amaliahnya. Karena Mereka yang tidak pernah mengeyam pendidikan pesantren atau ajaran-ajaran dasar keislaman yang kuat menjadi korban empuk sasaran arus kekuatan Islam Impor yang terus menerus merongrong keislaman di Indonesia. PMII harus menyelamatkan mereka dari serangan pemikiran fundamental atau radikal yang berkembang mutakhir ini. PMII harus menjadi contoh pemuda muslim panutan yang memiliki prinsip-prinsip toleransi, perdamaian dan keadaban. Ini pekerjaan kita bersama ketika kita membenahi diri kita dan menyingkirtkan debu yang masih melekat pada tubuh kita yaitu soal pertanyaan-pertanyaan renungan diatas.

Redaktur: Ahmad Raziqi
Editor: Maulana Ahmad Nur