Kita sepakat bahwa negara ini dihuni oleh masyarakat yang secara mayoritas memeluk agama Islam, Kyai yang merupakan salah satu tokoh elit memiliki kedudukan yang begitu terhormat dan berpengaruh memiliki andil besar dalam perkembangan masyarakat. Kyai menjadi salah satu elit strategis karena memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam terkait ajaran Islam serta ketokohannya sebagai figur yang tidak hanya sebagai pelayan pesantren (khadimal-ma’had), tapi juga sebagai pelayan umat (khadimal-ummah).

Sebagai pelayan umat, kita bisa melihat bagaimana peran strategis kyai khususnya dalam aspek kehidupan sosial-politik. Oleh karena itu perbincangan seputar peran sosial-politik akan melibatkan persinggungan antara agama dan politik. Salah satu tokoh pesantren yang memiliki pengaruh besar dikalangan masyarakat Islam Indonesia adalah Alm. K.H. AbdurrahmanWahid.

Warga Nahdliyin tidak akan merasa kesulitan untuk menjelaskan bagaimana perangai dari sosok Alm. K.H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dengan sebutan Gus Dur ini. Salah satu tokoh elit pesantren yang cukup fenomenal dalam realitas sosial keagamaan dan politik di Indonesia. Lahir dari rahim pesantren tidak menjadikannya hanya mengenyam pendidikan agama saja. lebih dari itu, ia menjadi sosok dan figur sentral Nahdlatul Ulama’ bahkan menjadi pelindung bagi kelompok-kelompok minoritas, politisi Islam ulung, budayawan dan negarawan merupakan seperangkat identitas yang disematkan orang padanya (Salehudin, 2019: 69).

Pikiranya yang segar, gagasannya yang visioner bahkan bisa dibilang anti mainstream mengantarkannya menjadi tokoh yang cukup unik. Bahkan tak jarang bagi orang yang tidak menyukai seperti lawan politiknya ia dianggap sebagai pemecah umat Islam dan oportunis. Terlepas dari itu semua barangkali orang hanya sepakat dalam satu hal tentangnya, yaitu tokoh yang kontroversial.

Sedari kecil Gus Dur sering ikut ayahnya yaitu Wahid Hasyim yang juga sebagai Menteri Agama bertemu dengan orang dengan latar belakang berbeda yang justru membentuk kepribadiannya. Kegemarannya dalam membaca menjadikannya seseorang yang memiliki pengetahuan dan wacana keilmuan yang luas. Bahkan semenjak masih remaja ia sudah banyak melahap buku-buku seperti Das Capital, buku- buku filsafat Plato dan tokoh revolusi rusia dan pendiri Negara Uni Soviet (Salehudin, 2019: 69). Kebiasaan membacanya tumbuh karena di rumahnya banyak buku-buku dan koran dalam jumlah yang banyak.

Meskipun lahir tumbuh dan berkembang di pesantren, justru sebagian pendidikanya ditempuh di lembaga pendidikan sekuler yang pada akhirnya ia memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Negeri seberang, tepatnya di mesir (Barton,1999:327). Selepas dari mesir, ia melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke bagdad, Iraq dan mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh seperti Emil Durkheim dan lain- lain. Selepas dari Mesir ia mengunjungi Eropa dengan harapan bisa mengenyam pendidikan di sana. Hanya saja tidak terwujud karena studinya di Mesir ternyata tidak di akui oleh Eropa sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

Dari pengembaraan intelektualnya inilah kemudian menghasilkan corak pemikiran yang luar biasa, meskipun bagi sebagian orang dianggap menyimpang. Salah satu pemikiranya yang banyak menuai kritikan, hujatan, protes bahkan fitnah adalah pemikirannya dalam relasi agama dan demokrasi. Di ranah ini, beberapa orang bahkan menuduh bahwa pemikirannya dianggap membahayakan dan kurang disukai penguasa. Bahkan, di era orde baru Gus Dur berada di garda terdepan melawan tirani.


DIMENSI DEMOKRASI

Para intelektual agama tak selamanya selalu bersepakat ketika membahas tentang demokrasi. Latar belakang keilmuan dan corak pemikiran yang berbeda menjadikan pendapatnya tentang demokrasi semakin menciptakan jurang pemisah antara yang satu dengan yang lainnya. Jika ditilik lebih jauh, persoalannya berpangkal pada perbedaan sikap ke-Tuhan-an dan wilayah sekuler.

Seiring dengan perkembangan zaman, demokrasi telah banyak diterima oleh hampir seluruh pemerintahan bahkan yang otoriter sekalipun. Menurut Abraham Lincoln, hakikat demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Hady, 2009: 31). Disamping hal itu demokrasi dianggap sebagai perjuangan untuk kebebasan dan jalan hidup yang lebihbaik.

Gagasan Abdurrahman Wahid tentang demokrasi adalah menjadikan agama sebagai etika sosial dalam berbangsa dan bernegara. Dia berpandangan bahwa seharusnya agama dan demokrasi bukanlah hal yang harus dipertentangkan, karena kalau dilihat lebih jauh demokrasi memiliki kesamaan misi yang kuat dengan agama. Hanya tergantung bagaimana mau menafsiri keduanya.

Dalam hubungan antara agama dan negara, kita kenal dengan teori paradigma simbiotik (symbiotic paradigm) dimana agama dan negara berhubungan saling melengkapi, timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan kekuasaan negara untuk menjamin terlaksananya ajarannya dan negara juga membutuhkan nilai- nilai agama sebagai sumber etika dan moral dalam merumuskan kebijakannya. Memang secara penerapan memiliki ruang yang berbeda namun keduanya memiliki hubungan secara simbiotik (Salehudin, 2019:69).

Menurut Abdurrahman Wahid, prinsip demokrasi itu ada dua yaitu yang sifatnya pokok dan bersifat turunan. Bersifat pokok bisa dilihat dalam prinsip yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila yaitu kebebasan, kesetaraan, keadilan dan musyawarah. Pertama, kebebasan; Kebebasan disini maksutnya adalah kebebasan yang menjadi hak setiap individu ketika berhadapan dengan kekuasaan negara. Kedua, kesetaraan; Ini merupakan perlakuan tidak tebang pilih ketika menyangkut hak dan kewajiban setiap warga negara. Dalam ranah hukum misalnya, tidak memihak kepada masyarakat kecil dan tumpul terhadap masyarakat menengah ke atas. Ketiga, keadilan; Keadilan merupakan landasan dalam berdemokrasi dalam artian terbukanya akses peluang kepada semua orang untuk mengatur hidupnya sesuai dengan apa yang di inginkan. Keempat, musyawarah. Dalam kaitannya memelihara kebebasan dan memperjuangkan keadilan melaui jalurmusyawarah.

Dalam implementasinya, demokrasi juga memiliki turunan atau terusan dalam penerapannya. Pertama, dalam menentukan bentuk demokrasinya mengharuskan adanya keterbukaan dan tersedianya proses politik yang melibatkan rakyat atau pasrtisipasi publik. Seperti dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak. Kedua, adanya kesesuaian antara aturan dan pelaksanannya yang kesemuanya ini kita lebih mengenalnya dengan terminologi konsep Good Governance. Ketiga, adanya keterbatasan wewenang dengan adanya pembagian wewenang antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ini adalah bagian yang rak terpisahkan dari nilai dasar demokrasi.

Nilai-nilai yang sedemikian ini tentu tidak perlu dipertentangkan dengan agama. Karena menurut Abdurrahman Wahid pandangan hidup Islam sudah jelas dan teratur, Islam mengakomodir kepentingan dan mengakomodasi kenyataan-kenyataan sepanjang mengandung kemaslahatan rakyat. Islam peduli dalam unsur-unsur kemanusiaan, seperti prinsip persamaan derajat, perlindungan hak-hak bagi mereka yang lemah (mustad afin), persamaan hukum yang  itu  semua  merupakan  bentuk  kepeduliantersebut.

Agama hadir di bumi tidak dalam keadaan kosong, akan tetapi lahir dalam masyarakat yang historis, memiliki tradisi dan kebudayaan yang mengatur aktifitas masyarakat. Agama lahir untuk mengintegrasikan masyarakat sehingga kehadiran agama tidak lepas dari pergumulan atau bahkan saling menegasikan. Negara memang bukan tujuan, tapi negara adalah perantara untuk mencapai tujuan.

Agama tidak memberikan penjelasan bagaimana bentuk sebuah Negara, sistem yang dipakai dan pemerintahan yang seperti apa yang ideal. Tapi agama secara tersirat memberikan rambu-rambu bagaimana seharusnya dalam berbangsa dan bernegara. Demokrasi adalah sistem yang setidaknya sesuai atau yang paling tidak lebih mendekati rambu-rambu tersebut. Pikiran Abdurrahman Wahid tentang demokrasi tentu bisa dijadikan sebagai landasan bersikap dalam berbangsa dan bernegara.

Redaktur: Miftahul Ulum
Editor: Ahmad Maulana Nur