Suatu Usaha untuk Kembali Pulang               dalam Pangkuan Rahim Ibu Pertiwi

                Oleh: Novi Ramadani

Bumi adalah jelmaan dari Ibu Periwi, simbolisasi ini menempatkan bumi sebagai rahim yang penuh kasih sayang, yang melindungi segenap isinya termasuk manusia di dalamnya. Menurut pandangan kosmologi timur bumi dipahami berdasarkan prinsip feminin dimana adanya hubungan dialektis dan co-existence pula melengkapi satu sama lain. Hubungan penciptaan dan perusakan, penyatuan dan perpecahan dsb. Hubungan-hubungan itu sudah menjadi siklus pergerakan yang sudah dimaklumi dalam alam semesta. Sebagaimana dituliskan dalam filsafat india bahwa hubungan tersebut adalah antara Prakriti (Alam) dan Purusha (Manusia) yang saling memelihara dan tidak terpisahkan. Berbeda dengan pandangan barat (pasca era pencerahan dan revolusi industry) yang justru memposisikan kedua entitas tersebut terpisah bahkan salah satunya mendominasi. Pandangan ini menegaskan bahwa kedua entitas kehidupan dipenuhi oleh dualisme dan pendikotomian antara Prakriti dan Purusha, baik itu laki-laki maupun perempuan. Pandangan yang memposisikan bumi sebagai subordinasi kekuasaan juga menjadikannya objek eksploitasi dan penjarahan. Akibatnya, bumi dijadikan sumber objek untuk dikeruk habis-habisan sehingga terjadilah krisis ekologi dimana-mana. Terancamnya siklus ekologi ini disebabkan oleh mindset antroposentrisme (paham bahwa manusia adalah spesies paling pusat dan penting dibandingkan spesies hewan) dan androsentrisme (paham yang menjadikan laki-laki sebagai pusat dunia) yang menggaungkan ‘pembangunan’. Pembangunan inilah yang disebut-sebut sebagai biang keladi dari hadirnya krisis ekologi.

Sejak revolusi industry terjadi antara tahun 1750-1850  yang memberi perubahan skala besar baik dalam bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi dan teknologi sampai pada detik ini. Pembangunan sudah mengabaikan kedudukan alam sebagai terra mater menjadi objek dengan potensi besar untuk keruk dan di jarah secara besar-besaran. Paradigma pembangunan yang bersifat antroposentrik membuat pengelolaan SDA menjadi komoditas berdasarkan nilai tukar dan nilai tambah. Pada kesempatan inilah kaspitalisme menjamah, menghabisi, merusak alam dengan membabi buta demi mendapatkan profitabilitas. Supaya hasrat itu berjalan dengan baik maka dibutuhkan seperangkat legitimasi untuk mendorong kesuksesan kapitalisme. Epistemologi dijadikan sebagai dasar ilmu pengetahuannya; egoisentrisme sebagai bangunan etiknya; dann reduksionisme dijadikan sebagai landasan operasionalnya.

Dalam buku yang berjudul Staying Alive: Woman, Ecology and Survival in India, 1988, Vandana Shiva menjelaskan secara gamblang bahwa reduksionisme bukan terjadi karena kecelakaan epistemology tetapi lahir dari sebuah kebutuhan suatu organisasi politik dan ekonomi. Paham dunia yang bersifat reduksionisme, revolusi industry dan ekonomi kapital merupakan beberapa konstituen dari proses yang sama. Berbagai instansi perusahaan dan sector ekonomi yang telah terfragmentasi, baik swasta maupun negeri, hanya memedulikan efisiensi dan laba yang mereka raih ketimbang prihatin terhadap biaya sosial dan ekologinya. Mereka  hanya memperhitungkan karakter suatu sistem SDA  yang menghasilkan profitabilitas melalui penjarahan dan eksfloitasi; karakter yang lebih pada menstabilkan ekologi dengan tidak menjarah secara komersial diabaikan dan akhirnya dirusak. Misalkan, dalam paradigm reduksionis, kayu hutan dialihkan menjadi kayu komersial. Dari kayu tersebut diubah menjadi serat selulosa untuk industry bubur kayu (pulp) dan kertas. Hutan, tanah dan sumber daya plasma nuthfah selanjutnya dimanipulasi agar dapat meningkatkan produksivitas bubur kayu dengan konsekuensi menurunnya produksi air di hutan atau mengubah berbagai macam aneka ragam bentuk kehidupan dalam komunitas hutan. Dan hal ini secara ilmiah di akui sebagai peningkatan produktivitas secara keseluruhan. Ekosistem hutan yang alami dikoyak melalui kehutanan ‘ilmiah’ dan pengembangan ‘kehutanan’. Disisi lain hal ini adalah salah satu awal dari krisis ekologi yang sampai kini kian meningkat.

Dalam ekonomi subsisten memandang para perempuan sebagai mahluk yang memproduksi dan mereproduksi kekayaan secara kemitraan dengan alam, perempuan merupakan ahli dalam hal pengetahuan holistis dan ekologis tentang proses-proses alam. Namun, prespektif yang lebih mengedepankan keuntungan sosial dan kebutuhan penghidupan justru malah tidak diakui oleh paradigm reduksionis. Hal ini dikarenakan, paham reduksionis gagal melihat keterkaitan alam dan pengetahuan umum perempuan dengan penciptaan kekayaan. Reduksionisme dikatakan berhasil ketika alam ditautkan pada pandangan tentang ekonomi dimana uang adalah satu-satunya tolak ukur dan kekayaan. Menilik pelibatan uang didalam paradigm reduksionis muncul hubungan asimetris terhadap kehidupan dan proses-proses hidup. Dimana penjarahan, manipulasi dan perusakan ekosistem dapat menjadi sumber kehidupan baru alam dan kemampuannya untuk menopang kehidupan. Sifat asimetris inilah yang harus bertanggung jawab atas krisis ekologis yang semakin parah akibat memanipulasi potensi-potensi alam dan sejalan dengan pengumpulan modal serta perluasan ‘pembangunan’ sebagai suatu prosedur yang menggantikan hidup subsistensi dengan tunai dan berlaba.

Pada penjelasan tersebut dapat kita analisa bahwa sistem kapitalisme dengan belenggu kekuasaan ilmu pengetahuan membuat Ibu Pertiwi bersusah hati. Paradigm pembangunan yang memiliki sifat patriarkis, brutal dan semena-mena itulaah yang menghancurkan tatanan kosmis antara alam dan manusia yang semestinya tetap saling memberi support untuk mempertahankan keberlangsungan hidup. Ruang gerak alam yang dinamis seolah-olah dihentikan dan dibuat menjadi mekanis/statis. Artinya, alam ditundukkan dan pasif terhadap sifat keserakahan, kerakusan manusia. Alhasil, alam sebagai pengejawantahan prinsip feminin yang di gaungkan oleh kosmologi timur sengaja dimatikan dan dibuat tidak berdaya. Alam serta merta mengalami disequilibriumn yang mengakibatkan alam tidak dapat lagi menyediakan sumber kehidupan.

Perempuan dan alam adalah satu kesatuan kosmos yang tidak dapat dipisahkan. Perempuan dianggap sebagai pemelihara kehidupan. Kehaliannya dalam melestarikan dan menjaga keberlanjutan penyediaan pangan dapat mebawa dampak yang signifikan bagi Prakriti dan Purusha. Maria Mies dalam bukunya yang berjudul Patriarchy and Accumulation On A World Scale menyatakan bahwa peran perempuan dalam ketersediaan bahan pangan merupakan karakter yang benar-benar produktif dengan alam, karena perempuan tidak hanya menggantungkan diri pada potensi yang dihasilkan alam, tetapi mereka juga membuat segala sesuatu menjadi tumbuh dengan merawatnya kembali. Dilain sisi, apa yang mereka ambil dari alam hanya untuk kebutuhan subsisten. Hal lain menunjukkan bahwa perempuan adalah pelopor dalam membangun kehidupan. Namun keahlian perempuan dalam produktivitasnya dalam mengelola kehidupan dan keseimbangan pangan mengalami patahan yang cukup tajam karena lahirnya kapitalisme modern beserta seperangkat komponennya. Kapitalisme modern tidak lagi menganggap perempuan sebagai pelaku aktif dalam memproduksi dan mereproduksi ekonomi. Di situasi inilah perempuan kehilangan produktivitasnya. Ia digantikan oleh tenaga mesin yang mampu meningkatkan produksi dan nilai tambah sehingga melahirkan komoditas sebanyak mungkin. Akumulasi kapital melahirkan berbagai jenis pekerjaan yang semakin terfragmentasi dan rumit. Atas nama universalitas ilmu pengetahuan, akumulasi kapitalis berhasil meluncurkan sebuah produk legitimasi dengan dasar rasionalitas, ia meruntuhkan dan mengabaikan apa saja yang tidak sesuai dengan proyek kemajuan.

Melalui karyanya Is Science Multicultural?, 1998, Shandra Harding mempertanyakan ilmu pengetahuan yang memuat bias androsentrisme atau bahkan eurosentrisme. Singkatnya, ilmu pengetahuan modern menempatkan diri dengan tidak mempercayai budaya non-Eropa yang masih dianggap kental dengan mistik, takhayaul, pseudoscience dan irasional (masih bersandar pata ‘petuah leluhur’ atau folk explanation). Ilmu pengetahuan modern juga tidak mempercayai pendekatan secara ethnoscience ataupun religi. Dapat di akui sebagai kebenaran ‘sains’ dengan hanya menggunakan prespektif antropomorfik yang hanya berlaku di sistem pengetahuan lokal, atau bahkan dengan membaca tanda-tanda alam sudah diakui sebagai kebenaran sains. Disisi lain, ilmu pengetahuan modern bisa diterima secara rasional, ilmiah dan universal. Posisi inilah yang menempatkan bias eurosentrisme tidak mengakui paradigm sains barat dan Eropa bahkan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan tersebut bukanlah Ilmu yang berlaku secara universal.

Peminggiran pluralitas ilmu dan ruang produktivitas itu membuahkan mufakatan bahwa kapitalisme dan proyek pencerahan dari ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya keniscayaan sejarah yang tidak bisa dibantahkan. Di masanya, mereka selalu menutup usaha-usaha yang dianggap tidak mendukung dan tidak sesuai dengan visi teknokratik pembangunan. Carolyn Merchant, seorang filsuf dengan karyanya Ecological Revolutions,1989. Menyatakan bahwa citra bumi sebagai rahim seorang ibu adalah halangan besar bagi kaum kapitalis yang berusaha menjarah bumi beserta isinya. Singkatnya, komponen kapitalisme seperti ekonomi komoditas, ekonomi uang dsb memiliki akhir yang dapat merusak keseimbangan alam dan mengubahnya menjadi bahan mentah untuk meningkatkan surplus.

Sementara itu, perempuan dan masyarakat  lokal yang menggantungkan kehidupannya ke aras subsistensi mengalami pemiskinan dan akhirnya menjadi miskin. Masyarakat yang mata pencahariannya bertani, beternak, berburu semakin terdesak dan tidak memiliki kuasa apapun. Sebagai contohnya adalah pembukaan lahan untuk industry pertanian, pertambangan, kehutanan, dan perkebunan komersial. Praktik itu telah banyak merenggut lahan dan ruang produktivitas perempuan dan masyarakat lokal yang sudah turun temurun merawatnya dan mengelolanya. Peran mereka digantikan oleh tenaga mesin yang rakus lahan dan rakus air. Disamping perampasan peran pekerja, secara sosial perempuan dan masyarakat lokal mengalami demoralisasi karena lahan yang diambil paksa oleh penguasa melaluikebijakan dan investasi yang diciptakan oleh Negara. Mereka ditopang oleh kekuatan modal dan pastinya tidak memprioritaskan makna tentang bumi, dimana sebelumnya sistem penggunaan dan pengelolaan lahan sangat berakar pada prinsip-prinsip feminin.

Sebagaimana kedudukan ontologinya, hubungan antara manusia dan alam adalah tidak dapat dipisahkan, begitupula antara perempuan dan laki-laki. Saling menjaga, melindung dan merawat satu sama lain. Hal ini menjelaskan bahwa segala aspek kehidupan tercipta dalam prinsip feminine. Pada hakikatnya prinsip feminine telah melampaui ideology gender yang menciptakan perpecahan antara lai-laki dan perempuan, Prakriti dan Purusha. Meski berbeda, itu semua tetap tidak dapat dipisahkan dalam kesatuan dialektis, sebagai dua entitas dari satu mahluk. Pradigma feminine telah melahirkan kekuatan kreatif tanpa kekrasan yang nonpatriarkal dan nongender atau “kekuatan kreatif dalam wujud damai” (Kritik Vandana Shiva, 1988;1998)

Fakta mencengangkan di Indonesia menunjukkan sekitar 85% petani tidak memiliki lahan dan perempuan  adalah kelompok yang paling rentan dari berlangsungnya semua krisis ekologi. Perampasan, pengakuan hak milik, kepentingan korporasi adalah sebab-sebab dibalik para petani harus kehilangan lahannya. Bahkan grafik KPA menunjukkan peningkatan konflik agraria dari 133 kejadian pada tahun 2019 menjadi 138 kejadian di akhir tahun 2020. Berdasarkan laporan WALHI terjadi peningkatan yang cukup siginifikan di akhir tahun 2020 terkait kehancuran ekologi , perampasan lahan, dan konflik sumber daya alam yang disebabkan oleh korporasi, pemerintah dan aparat keamanan. Ditambah lagi isu-isu yang tidak pro-alam seperti pemindahan beban ekologi Ibu Kota Jakarta ke Kalimantan Timur, Legislasi yang menyulitkan petani dan berpihak pada investor, Inkonsisten perencanaan ketenagalistrikan, False Solution krisis iklim berkedok energy bersih terbarukan. Hal ini menandakan bahwa Negara gagal mengatasi krisis ekologi maupun iklim dengan merespon melalui kebijakan keliru hingga dari status rawan menjadi awas. Sikap, kebijakan tersebut mengantarkan kita lebih cepat menuju kolaps. Tidak dipungkiri ini semua akibat dari paradigm pembangunan  yang sama sekali tidak sensitif pada ekologi dan iklim bahkan kerap dijumpai bias gender. Khalisah Khalid, Koordinator Desk Eksekutif Nasional dalam buku Candraningru.D, Ekofeminisme Narasi Iman, Mitos, Air dan Tanah, [ed.], 2014 menyatakan bahwa krisis lingkungan hidup dan SDA, tidak bisa dilepaskan dari ketidakadilan dan ketimpangan struktur pengelolaan dan penguasaan SDA yang selama ini dikuasi oleh para korporasi dan difasilitasi oleh Negara melalui legitimasi atau berbagai kebijkan-kebijakan. Masalah ini semakin diperparah dengan tidak merefleksikan sudut pandang perempuan. Paradigm pembangunan bukan hanya merampas alam melainkan juga kedaulatan perempuan dalam mengelola SDA dan Pangan yang membuat pandangan perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, bahkan oleh perempuan sendiri.

Khalid juga menambahkan bahwa perempuan selalu mendapatkan diskriminasi dan stereotip yang terus membelenggu. Perempuan selalu ditempatkan pada posisi yang tak berdaya , tidak punya pengetahuan. Pengetahuan perempuan yang holistis tentang tubuhnya dengan alam dianggap tidak ada dalam agenda pembangunan. Sehingga perempuan tidak diikut sertakan dalam proses pengambilan keputusan dalam hampir semua keputusan kebijakan pembangunan. Pengarusutamaan perempuan dalam mitigasi dan pemulihan krisis ekologi adalah modal sosial-ekologi yang penting untuk terus dilakukan dan ditumbuhkan. Insifiatif dan gerakan perempuan dalam manunggaling krisi sosial-ekologi mampu mengatasi kerentanan pada perempuan. Misalkan, peran perempuan dalam menjaga daya tahan pangan, konversi alam, pertanian berkelanjutan dengan berkeadilan gender, penguatan akses perempuan dalam menjaga eutuhan hutan, air, SDA, dll, pengembalian peran aktif perempuan dalam membuat dan mengambil keputusan pembangunan. Minimal dalam tingkatan desa, melalui keterwakilan di Musrenbang. Tentu saja ini tidak selesai pada visi teknokratif semata melainkan juga pengembalian peran produktivitas perempuan tanpa adanya bias androsentris dann dominasi patriarki.

Bahwa rahim adalah metafora dari ibu yang telah memberikan kehidupan maka aksi-aksi untuk memulihkan krisis ekologi menjadi sangat penting dalam upaya melindungi bumi sbegai perwujudan Terra Mater dari kerusakan yang semakin parah. Dalam hal ini, tidak sedikit perempuan yang menjadi grada terdepan untuk pemulihan krisis ekologi. Baru-baru ini public diramaikan dengan aksi warga Wades, Purworejo. Dengan melakukan aksi tolak penambangan andesit sebagai langkah karena tidak mau hidup berdampingan dengan krisis ekologi. Menurut data yang dijelaskan WALHI tambang ini merupakan tambang quarry atau penambangan terbuka yang estimasi waktunya selama 30 bulan dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan menggunakan 5.300 ton dinamit, hingga kedalaman 40 meter. Tambang ini menargetkan 15,53 juta m3 material batuan andesit untuk pembangunan bendungan bener, dengan kapasitas produksi 400.000 m3/ tahunnya. Analisis itu membuktikan bahwa sekali lagi Negara gagal melihat krisis ekologi sebagai konflik yang sangat urgent saat ini. Menilik aksi tersebut, tak sedikit jumlah perempuan yang bahkan menjadi penyambung lidah rakyat demi mempertahankan ke alamian lingkungannya. Bahkan rela jiwa raganya menjadi bahan represif aparat kepolisian. 

Candraningrum.D (2014) mencatat bahwa sejak Presiden Soeharto lengser di tahun 1998, setelahnya otonomi daerah di tahun 2000 terkait eksploitasi SDA oleh politisi dan investor semakin marak dan tidak terkendali lagi. Gerakan-gerakan perempuan demi kerahiman bumi merupakan sebuah refleksi bagi kita semua bahwa hormat pada daya hidup, energy kreatif dan kekuatan moral ialah sebuah keteladanan. Menegur untuk kembali ke asal usul kita yang terlahir suci, rahim Ibu Pertiwi. Berbagai upaya untuk memulihkan perubahan iklim dan menyongsong keadilan iklim adalah bagian dari cara etis dan menghormati nilai-nilai luhur alam. Salah satu prinsip ekologi yang bernama Faham Biospheric Egalitarianism dalam Deep Ecology mengakui bahwa manusia dan segala ekosistem yang bernaung dalam bumi memiliki status yang setara. Semuanya memiliki martabat yang sama tidak terkecuali mahluk non-hayati. Sehingga satu dengan yang lainnya bernilai sama dan tidak ada yang mendominasi. 

Peran perempuan dalam memitigasi perubahan iklim digaungkan semakin kencang karena posisinya yang menjadi kunci dalam berbagai dimensi. Modal ekologi perempuan meliputi ketahanan pangan, ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan stabilitas pangan. Inisiatif dan kepekaan perempuan masa kini sangat berpengaruh terhadap krisis ekologi dan iklim yang sekarang dalam status awas. Memperjuangkan peran produktivitas perempuan yang sudah diambil paksa dalam menjaga plasma nutfah sebagai keanekaragaman hayati yang sekarang tengah mengalami proses oemusnahan sistematik, hingga pelepasan emisi karbondioksida yang mengalami kerusakan parah akibat pembalakan, pertanian padat modal, perkebunan dan industry ekstraktif. Ditambah juga dengan menurunnya fungsi hidrologi membuat beban kerja kaum perempuan menjadi banyak dan keras. Kekeringan dan banjir yang terjadi di beberapa wilayah termasuk di Indonesia sendiri menggambarkan bahwa kita sedang mengalami degradasi ketersediaan air. Alhasil, meningkatkan kerentanan dan peningkatan pada krisis sosial-ekologi. Oleh karenanya, dirasa sangat diperlukan kembali pengetahuan-pengetahuan dasar seperti menjaga benih warisan, keberagaman tanaman pangan, pengelolaan air dan tanah, penerapan pertanian organic, konservasi dan menjaga spesies tertentu sebagai upaya memitigasi perubahan iklim dan pengarusutamaan iklim berbasis gender. \

Dari penjelasan diatas, belum dipaparkan masalah pertambahan laju penduduk yang semakin pesat. Persoalan ledakan demografi bukan hanya diklasifikasikan berdasarkan deret ukur dan deret hitung Malthusian saja. Melainkan ledakan demografi yang terjadi pada perkembangan kapitalisme lanjut ini sudah melampaui paradigm Malthusian yang berimplikasi pada kompleksitas perubahan iklim dan kerentanan kaum perempuan dalam menghadapinya. Ledakan demografi ini dapat membuat berkurangnya daya lingkungan hidup dan lahan yang semakin kritis. Untuk itulah mitigasi perubahan iklim saat ini harus dilakukan dengan upaya membatasi pelepasan emisi gas rumah kaca, degradasi lingkungan, kerusakan hutan, pemukiman dan kesehatan. Selain itu, upaya yang perlu dilakukan jika kerentanan perubahan iklim telah memasuki status waspada yakni melakukan adaptasi seperti membangun sector ketahanan pangan, pertanian, perikanan, sanitasi, permukiman, ketersediaan air, kesehatan, HAM dan keamanan. 

Mungkin frasa memitigasi perubahan iklim terkesan berwatak teknokratis. Maka yang perlu ditekankan lebih kepada keadilan iklim. Keadilan iklim adalah sebuah terobosan mewakili kepentingan yang lebih esensial dan subtansial unutk menuntaskan akutnya krisis ekologi dan perubahan iklim itu sendiri, terlebih yang dialami oleh kaum perempuan. Huubungan dialektis ini yang agaknya tidak diwadahi dan terabaikan dalam pembangunan berwajah teknokratik. Mitigasi dan perubahan iklim yang dari dulu diperjuangkan selalu terjebak pada kategori reduksionisme- hanya selesai pada dukungan pendanaan saja. Disisi lain, pemerintah tetap saja membuka lahan bagi para investor yang sangat mengancam ruang produksi dan keselamatan masyarakat. Ketidaksinkronan antara usaha untuk memitigasi dan adaptasi perubahan dengan di obralnya lahan bagi para investor adalah wajah ganda pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat rentan, khususnya perempuan 

Dalam merebut kembali hak-hak perempuan dan masyarakat lokal kepada alam yang dirampas. Selain upaya secara praksis juga didukung oleh dasar teoritisnya yakni Ekofeminisme. Teori ini diperkenalkan oleh Francois d’Eaubone di tahun 1974 dalam bukunya Le Feminisme ou la Mort.Teori ini merupakan gabungan antara pemikiran feminism dan ekologi juga sebuah keyakinan yang menyatakan bahwa terdapat pergeseran mentalitas sosial dengan arus yang mengarah pada kerusakan lingkungan. Ekofeminisme sebagai proyeksi epistemic juag mengungkap selubung ideology maskulin yang opresif terhadap alam dan perempuan. Ekofeminisme mencoba untuk membebaskan jeratan perempuan dan alam dari penindasan kapitalisme yang berperlaku androsentrisme serba maskulin, mendominasi, memanipulasi dan eksploitatif terhadap alam dan perempuan. Ekofeminisme menawarkan seperangkat paradigm yang pluralis dan inklusif bahwa relasi antara perempuan dan laki-laki dalam menjaga ketutuhan alam raya adalah utuh dan saling melengkapi bukan mendominasi salah satu diantaranya. Namun dalam ekofeminisme beranggapan bahwa, baik nilai-nilai dan tindakan tidak dapat dipisahkan. Artinya, atu bentuk kepedulian tidak dapat berjalan tanpa adanya suatu tindakan. Teori ekofeminisme mulai berkembang pada tahun 1970-an, namun gerakannya ada jauh sebelum itu. 

Dengan adanya kolaborasi antara energy dari Prakriti dan Purusha menjadikan titik keseimbangan (equilibrium) dalam menjaga kelestarian bumi. Tentunya, kolaborasi ini mengandalkan peran laki-laki dan perempuan yang saling bekerjasama dan berbagi tanggung jawab dalam menjaga keberlanjutan juga kelestarian bumi untuk generasi kelak. Itulah cita-cita pembebasan yang diusung oleh ekofeminisme dari segala bentuk opresi. 

Analogi bumi sebagai sebuah rahim adalah panggilan untuk kembali pulang pada pangkuan Ibu Pertiwi. Analogi itu juga menempatkan perempuan yang memiliki rahim dimana kekuatan untuk memberi energy kreatif kehidupan juga ada pada perempuan. 
Dalam penjelasan, data dan fakta yang disuguhkan. Penulis hanya sedikit memetik pesan yang mungkin dapat mendobrak stereotip bahwa saya dan perempuan, berbagai macam organisasi perempuan, gerakan perempuan. pengetahuan perempuan dan segala macam tentang perempuan yang memandang tidak bisa apa-apa itu jelas keliru. Meski hati kami yang selalu digugat karena tidak bisa rasional justru menunjukkan bahwa pemimpin dan memimpin mesti dengan hatinya. Tabik.(**)