ISLAM DAN SOEKARNO : PETA PEMIKIRAN ISLAM SOEKARNO DAN KRITIKNYA TERHADAP CARA KEBER-ISLAM-AN MASYARAKAT PRIBUMI, SERTA RELEVANSINYA DI ERA MODERN
Soekarno, atau orang sering memanggilnya dengan “Bung Karno” adalah sosok pemimpin besar yang mampu membangkitkan dan membakar semangat juang rakyat melawan penindasan. Dalam pledoinya yang fenomenal berjudul “Indonesia Menggugat” dengan tegas menyatakan perlawanan terhadap kolonialisme. Pribadinya tidak hanya terkenal tampan, tapi juga dikenal sebagai seorang yang pemberani, berkharisma, pintar, tegas dan ambisius. Ia juiga disebut sebagai Putra Sang Fajar, karena ia lahir bersamaan dengan fajar menyingsing.
Soekarno juga dianggap mewakili berbagai golongan: Nasionalis, Islamis dan Marxis. Ekstrimnya lagi, ia dikatakan sebagai pemimpin yang sinkretik karena menyublimasi berbagai paham yang menyatu dalam dirinya. Di satu sisi Islamis, tapi di sisi yang lain Nasionalis, bahkan Marxis. Namun begitulah sosoknya, bukan Soekarno namanya kalau tidak mampu mengakomodir paham-paham besar itu. Ia merupakan sosok pemimpin yang unik. Selain dekat dengan rakyat, Soekarno juga sangat mencintai kebudayaan lokal. Di wilayah pemikiran, ia memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap pluralisme agama dan budaya.
Sosok Soekarno dengan kopyah hitam yang melekat di kepala menjadi ciri khas yang melegenda sebagai bapak proklamator dan pemimpin besar di negeri ini. Pidato-pidatonya yang menggungah dan menggelegar selalu menjadi pecutan semangat bagi siapa saja yang mendengarnya, menggelorakan semangat nasionalisme. Namanya tetap terpatri dalam hati sanubari rakyat Indonesia. Kita akan sepakat dalam satu hal, bahwa berbicara Indonesia berarti kita juga akan membicarakan Bung Karno.
Pengaruhnya tidak hanya di dalam negeri, bangsa-bangsa lain mengakui sosok Soekarno tidak hanya sebagai seorang pemimpin, politisi, negarawan dan pemikir, tetapi juga sang orator ulung yang mampu menaklukkan para pemimpin negara lain di belahan dunia. Hal ini bisa kita lihat bagaimana Soekarno berkawan dekat dengan tokoh berpengaruh dan kepala negara dunia seperti Jawaharlal Nehru, Gamal Abdul Naseer, Jon. F. Kennedy, Che Guevara, Nikita Kruschev serta Josep Broz Tito.
Soekarno lahir di Lawang Seketeng, Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 6 Juni 1901. Ayahnya adalah seorang priyayi Jawa yang bernama Raden Soekemi Sosrodiharjo. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, seseorang yang memiliki trah bangsawan Bali dari kasta hindu tertinggi Brahmana. Dari pasangan ini Soekarno lahir. Meskipun perkawinan keduanya tidak begitu mulus lantaran perbedaan suku dan kasta. Sehingga, keduanya harus melakukan “kawin lari” sesuai adat Bali, dimana Soekarno harus membawa pengantin perempuan ke rumah saudaranya.
Soekarno kecil bernama Kusno Sosrodiharjo. Dalam asuhan kedua orang tuanya ia selalu berpindah-pindah tempat tinggal hingga akhirnya menetap di Blitar. Nama kecil ini berubah menjadi Soekarno lantaran semasa kecil ia sering sakit-sakitan. Pergantian nama ini menurut kepercayaan orang Jawa di masa itu menggambarkan satu mitos tersendiri bahwa kelak dirinya akan menjadi calon pejuang dan pahlawan bagi bangsa dan negaranya.
Ketika kanak-kanak Soekarno menyerap sendi-sendi filsafat jawa dari kakek-neneknya, ayahnya, dari seorang petani yang bernama Wagiman serta dari pengsuhnya yang bernama Sarinah. Nama terakhir ini kemudian menjadi judul buku yang membahas pemikiran soekarno tentang perempuan. Sebuah buku yang membahas pandangan soekarno tentang feminisme jauh sebelum wacana modern mengenai gender, sebuah pemikiran yang melintasi zaman.
PANDANGAN SOEKARNO TENTANG ISLAM
Mencari benang merah pemikiran Soekarno tentang Islam memang seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Hal ini dikarenakan Soekarno selama ini diidentikkan dengan seorang yang nasionalis, bahkan di jadikan sebagai representasi dari golongan nasionalis-sekuler. Banyak kalangan yang meragukan terkait keberagamaan Soekarno, terlebih lagi kalau melihat dari fenomena politik di era 1960-an semakin menguatkan pandangan terhadap soekarno ketika ia dianggap terlalu “memihak” kepada PKI. Padahal ada fakta sejarah yang cukup menarik, dimana Soekarno pernah mendapatkan gelar doktor honoris causa bidang tauhid, oleh lembaga pendidikan tinggi agama yang prestisius, yaitu IAIN Syarif Hidayatullah. Bahkan, ia juga mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir di bidang filsafat.
Anggapan ini bukan tanpa dasar, bisa saja ini muncul karena latar belakang pendidikan yang ditempuhnya adalah sekuler-modern, atau karena ayahnya merupakan priyayi penganut theosofi, atau karena ibunya yang merupakan seorang perempuan Bali keturunan kasta Brahmana, atau yang terakhir yang cukup kuat untuk membuktikan itu; ia adalah pendiri Partai Nasionalis Indonesia (PNI), yang secara garis besar organisasinya berhaluan nasionalis. Meskipun di negerinya sendiri Soekarno dikenal dengan sosok pemimpin yang berjiwa nasionalis, tapi di negara lain Soekarno memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam kaitannya dengan dunia Islam. Pengaruhnya meluas sampai kepada negara yang sekuler sekalipun, yaitu Amerika dan Afrika. Negara Arab lebih mengenalnya dengan sebutan Ahmad Soekarno.
Soekarno memang bukanlah pemikir Jawa, bukan pula pemikir Islam seperti halnya M. Natsir. Namun Soekarno sudah pasti memiliki keyakinan serta pemikiran tentang agama yang di yakininya, yaitu Islam. Perbedaan antara keduanya hanyalah terletak pada pemikiran. Soekarno lebih condong kepada patron nasionalisnya, sedangkan Natsir lebih menampakkan pola kesilamannya. Sehingga, wajar kalau sejarawan menempatkan Soekarno sebagai tokoh nasionalis-sekuler, yang seringkali dihadapkan dengan nasionalis-Islam.
Soekarno mulai berkenalan dengan Islam ketika dipondokkan oleh ayahnya di kediaman H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh gerakan Islam tekemuka yang sekaligus pimpinan Serikat Islam (SI) di Surabaya. Melalui jaringan Tjokroaminoto inilah ia banyak berkenalan dengan tokoh Islam seperti KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Agus Salim serta tokoh-tokoh Islam lainnya yang mendiami kediaman Tjokroaminoto.
Interaksi Soekarno dengan tokoh Islam membuatnya semakin tertarik untuk mendalaminya, bahkan ia menjadikan buku L. Stoddard yang berjudul The New World Of Islam sebagai salah satu rujukan utamanya dalam mengkaji Islam. Sebagai seorang yang suka membaca dan seorang yang memiliki wawasan yang luas, ia dengan cepat menangkap pemikiran Islam layaknya ia belajar pemikiranran Karl Mark, Friedrick Engels dan Lenin. Bung Karno juga tertarik dengan pemikiran Mu’tazilah dan juga mulai berkenalan dengan filsuf-filsuf muslim seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Soekarno mulai serius mempelajari Islam ketika mendekam di lapas Suka Miskin, Bandung. Di lapas kecil itu dia mulai merenungi arti hidup dan berhasrat untuk mempelajari Islam secara serius dan lebih mendalam. Di sel tersebut, ia sering berbalas surat dengan M. Natsir mengenai Islam. Sebagai tokoh pergerakan Soekarno sering ditangkap oleh belanda, keluar masuk penjara dan di asingkan. Bahkan ketika ia di asingkan di Endeh, Flores, Soekarno mendalami pemikiran Maulvi Ali dan Khawaja Kamaluddin. Dari berbagai pengasingan yang dilalui ia banyak mempelajari dan menyerap pemikiran tokoh muslim seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-afghani, Arabi Pasha, Ali Pasha, Ahmad Bey Agayeff dan Mohammad Ali.
Refleksi pemikiran sosial-keagamaan Soekarno terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pengembaraan spritual yang dilakukan baik dalam pengasingan maupun dialog dengan sejumlag tokoh Islam. Pada perkembangan selanjutnya, Soekarno secara aktif bertukar pikiran dengan tokoh sekaliber A. Hassan selaku pimpinan Persatuan Islam (Persis) Bandung dan di lain kesempatan juga menjalin komunikasi dengan Kyai Haji Mas Mansyur yang kelak menjadi Pengurus PP. Muhammadiyah.
Ketertarikan Soekarno dalam mendalami Agama Islam ternyata memunculkan gagasan-gagasan yang cemerlang, sehingga secara sadar ia mendorong rakyat agar bersikap membuka diri dan mengakui pluralisme kebangsaan yang dimiliki Indonesia. Ia menentang kekolotan, ketakhayulan, bid’ah dan anti rasionalisme yang dianut oleh sebagian masyarakat muslim Indonesia pada waktu itu. Melalui pemahaman yang dimilikinya, ia menentang taqlid buta yang mengkerdilkan semangat juang bangsa.
Soekarno juga berpendapat bahwa sebagian masyarakat Indonesia pada saaat itu salah dalam menafsirkan Islam, karena lebih percaya terhadap ajaran Islam yang diwarisi oleh para pendahulunya dan lebih berpedoman kepada doktrin yang sudah ada daripada berusaha memahami sendiri tentang Islam melalui al-Quran dan hadist. Bahkan Soekarno pernah masuk pada pemikiran kritik hadits, di mana pada suatu waktu ia meminta kiriman buku hadist Bukhari karena ia mencurigai beredarnya hadist-hadist palsu yang bertentangan dengan al-Qur’an.
Dalam konteks pemahamannya terhadap Islam, Soekarno secara tegas melakukan penafsiran atas ajaran Islam melalui pemahamannya terhadap al-Quran dan hadist yang membebaskan penganutnya dari belenggu ekslusivisme, ekstrimisme dan radikalisme. Bung Karno memiliki penafsiran dan pandangan tersendiri tentang Islam.
Menurut Soekarno, akal dan Islam mempunyai tujuan yang sama, yaitu membimbing kehidupan umat manusia. Sikap dan pikiran Soekarno ini tidak lepas dari pengaruh pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dimana keduanya menempatkan akal dalam memahami ajaran Islam. Soekarno menempatkan akal pada posisi yang sangat penting sehingga dalam pandangannya segala masalah termasuk yang menyangkut persoalan agama bisa dipecahkan melalui akal.
Soekarno mengajak umat Islam untuk memahami Islam dari kacamata yang berbeda yang sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman. Ia mengkritik paham Islam yang berkembang saat itu, yang dituangkan dalam tulisan berjudul “Tabir adalah Lambang Perbudakan: Tabir tidak diperintahkan oleh Islam” Soekarno mengatakan bahwa tabir antara kelompok laki-laki dan perempuan tidak diperintahkan oleh Islam, itu hanya karena pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan kaum substansialis yang memandang bahwa Islam tidak hanya bisa dilihat dan diekspresikan dengan hanya melalui simbol dan teks semata.
Pembaruan pemikiran Islam yang dimaksud Soekarno adalah pikiran untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru, tidak mandeg serta tidak kaku yang nantinya dapat membawa kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ia selalu ingin mencari penyesuaian Islam dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Sudah barang tentu pandangan ini disokong atau ditunjang oleh khazanah keilmuan sosial ala materialisme historis Karl Mark yang dipelajarinya. Sementara pandangan tentang agamanya dipengaruhi oleh Auguste Comte. Akulturasi tradisi keilmuan ini membawanya pada dua model yang liberal dan progresif. Pada ranah liberalismenya, ia menekankan pada pentingnya wacana pembebasan dalam Islam.
RELEVANSI PEMIKIRAN ISLAM SOEKARNO DI ERA SEKARANG
Soekarno meletakkan Islam sebagai alat melintasi zaman. Ia tidak hanya mengupas Islam dari sisi permukaannya saja. Kepiawaiannya dalam menafsiri dan keberaniannya dalam mendekonstruksi Islam sesuai dengan konteks zamannya, menentukan gagasan keislamannya yang progresif. Sebagai seorang pejuang, arsitek, negarawan serta politisi, tentu tidak berlebihan jika mengatakan bahwa Soekarno adalah tokoh yang mampu mendialogkan antara Islam dan keindonesiaan.
Dalam konteks keindonesiaan, tidak salah kiranya kalau pemikiran Soekarno dijadikan rujukan. Banyak kita melihat di negara ini kasus-kasus yang mengatas namakan agama, radikalisme serta terorisme. Misalnya seperti pengeboman dan lain sebagainya, dengan dalih menerapkan syariat Agama dan menjalankan perintah Tuhan. Tentu ini adalah pehaman yang keliru, karena tidak menempatkan akal dalam hal menjalankan syariat agama. Agama tidak mengajarkan untuk saling menyakiti antara satu sama lain, sekalipun itu atas nama agama.
Ini dikarenakan pemahaman agama yang sangat sempit. Sehingga ajaran agama diterapkan dengan cara tidak melihat pada konteksnya. Agama dipahami berdasarkan teks, dan diterapkan dengan tidak melihat pada konteks. Penerapan sistem khilafah misalnya, sehingga jika ini dipaksakan tentu akan menimbulkan masalah yang serius. Hemat penulis, kelompok yang masih bersikukuh untuk menerapkan khilafah di negara yang pluralis ini perlu melakukan penyegaran kembali terhadap apa makna daripada khilafah itu sendiri.
Sosok seorang Soekarno tidak hanya “Islami” dalam pikiran, tapi juga tindakan. Ucapan, pilihan politik serta perilakunya memancarkan nilai-nilai islami secara utuh dan benar. Menafsiri dan menerapkan ajaran agama sesuai dengan konteksnya tentu ini sangat diperlukan, seperti yang sudah dilakukan oleh Soekarno. Metodologi berpikir ala Soekarno ini perlu ditiru oleh generasi zaman modern seperti sekarang ini, agar supaya tidak salah dalam manafsiri dan menerapkan syariat Islam.
Hari ini, 21 juni 2021 kita memperingati haul bapak proklamator Soekarno. Ajarannya selalu terpatri dalam hati sanubari setiap rakyatnya. Loyalitas, perjuangan, pengorbanan, dedikasi serta semangatnya selalu bergelora dalam ingatan dan tak akan pernah terkikis oleh zaman.
Soekarno membuktikan bahwa memimpin bukan saja berdiri sebagai panutan rakyatnya, namun juga berperan dalam menentukan dalam perkembangan suatu bangsa. Melalui penampakan pemimpin sebuah negara dibaca, melalui pemimpin pula, suatu bangsa akan tenggelam. Melalui Soekarno, negara kita dibaca oleh bansga lain, dan bangsa kita dihormati oleh negara lain.
0 komentar