Oleh : Sugianto
Jember, Alienasi Perss Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Ekonomi Dan Bisnis (FEBI UIN KHAS) Jember masih eksis dalam menuai varian edukasi meskipun hal tersebut tidak terlepas dari belenggu menjamurnya covid-19. Acara Internasional Podcast yang berlangsung secara online ini, di nahkodai langsung oleh sahabati Novi pengurus rayon febi selaku host, serta dua guest yaitu sahabat Nadim penggurus PCI PMII Jerman dan sahabati Rofi sebagai pegiat komprehensive sexsuality education, serta diikuti oleh partisipan pengurus dan kader rayon febi secara keseluruhan. Sabtu, 18/09/2021.
Internasional podcast dengan tema “How do Cadres understand Feminisme Today..? Why..?” yang di gelar langsung oleh alienasi perss sebagai banom PMII rayon febi. Acara yang sangat menginspirasi semangat perjuangan pengurus saat ini, sebab masih progresif dalam mengfungsikan media sosial sebagai jaringan untuk bisa mengundang narasumber dari Jerman yang bisa ikut andil dalam memberikan pemahaman dan pengalaman mengenai eksistensi pergulatan tentang fenisme saat ini.
Tentu kalau kita berbicara soal feminisme, maka kita tidak akan lepas dari suguhan gender sebagai embrio antara peran kaum feminis terhadap perspektif maskulin.
Feminisme sebagian gerakan sosial, ekonomi dan politik, mulai gencar di suarakan pada akhir abad ke-18 dan mulai sudah berkembang awal abad-20. Feminisme sebagai gerakan terus mengkampanyekan hak-hak perempuan termasuk hak untuk memilih, memegang jabatan, bekerja, dan adil.
Disisi lain feminisme juga berupaya untuk memastikan akses terhadap aborsi yang legal dan integrasi sosial, serta untuk melindungi perempuan dari pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan terhadap rumah tangga. Namun hal itu tidak lepas dari hukum kausalitas, bahwa feminis akan tetap menjadi bagian yang tak bisa di pisahkan dari kontroling patriarki.
Sesuai dengan perspektif sahabat Nadim bahwa “Dunia ini sangat didominasi oleh peran patriarki, karna pada kenyataannya perempuan selalu menjadi sutradara yang berperan di balik layar,” tuturnya.
Ilustrasi diatas tentu tidak membuat polemik terhadap eksistensi kaum feminis mengenai perannya, sebab jika kita mengaca pada kehidupan sekarang tentu peran feminis sudah mulai menonjol sehingga muncullah bahasa kesetaraan gender. Sedikit mengacah terhadap argumentasi sahabat Rofi bahwa “Memang dunia ini selalu di dominasi oleh peran patriarki, namun persoalan tersebut tidak menjadikan feminis diam sebagai hal yang tabu. Tapi bangkit dan berperan di segala lini sektor kehidupan, contoh kecil:menjadi ketua kopri jember,” pungkasnya.
Jadi kalau kita berbicara tentang fenisme hari ini, baik di Jerman dan di Indonesia itu sudah merupakan sesutu yang sudah setara dan tidak terlalu banyak dibikin persoalan karena kenyataannya manusia sudah bisa beradaptasi dengan perkembangan dunia secara aktif dan inovatif.
Hal yang paling urgen yang dapat di save dari kajian ini adalah bagaimana mengentaskan kesadaran bahwa antara feminis dan maskulin tidak ada tabir pembeda dalam mengaktualisasikan peran hidupnya. Namun hal itu tidak lepas dari refleksi privat sehingga mampu merespon dan mengendalikan iklim kehidupannya sendiri. Jika patriarki dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, maka kesetaraan gender akan selalu menjadi perspektif yang kontradiktif.
Oleh karena itu, maka feminis harus bangkit dengan kesadaran dan keluar dari belenggu hegemoni patriarki serta diharapkan dapat secara nyata menerapkan analisis dan teori di lapangan karena segala upaya baik dari pemikiran dan pengalaman bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah perkembangan manusia, melainkan feminis tumbuh dan berkembang sebagai upaya memanusiakan manusia untuk bertahan hidup sebagai masa depan umat rahmatan lil alamin.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus❤❤❤
BalasHapus