SIAPA SURUH MAU JADI AKTIVIS DI UIN KHAS MANGLI JEMBER
Oleh: A.R
Bagaimana kabarmu hari ini? Baik atau tidak lebih baik dari hari-hari sebelumnya, semoga baik-baik saja. Kali ini mari kita berfantasi soal idealisme dan bercita-cita menjadi sosok aktivis, entah aktivis dalam ranah sosial, lingkungan, budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Tapi yang sepertinya ideal menjadi aktivis itu ya kaum muda, siapa lagi kalau bukan mahasiswa. Menurut KBBI aktivis adalah “orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya”. Kalau begitu mari kita pilah saja hal apa yang sebenarnya perlu didiskusikan sebagai aktivis.
Pertama, karena sosok aktivis biasanya memamerkan perjuangan elitis ke populis, tentu secara ide mereka akan cenderung membudayakan diskusi dan pembelaan terhadap kemaslahatan bersama secara adil. Maka dalam memerankan aktivitas sosialnya biasanya aktivis itu tidak mau melakukan diskusi dan ngopi berjam-jam jika hanya untuk kepentingan pribadinya. Biasanya ya, pengkajian sekaliber tokoh-tokoh revolusi yang menjunjung tinggi egaliter dan humanisme sudah menjadi lahapan dia setiap hari. Dari kiri, tengah hingga kanan. Tapi tentu mereka akan menakar proporsionalitas pikiran sesuai dengan tempat dan keadaanya. Kalau begitu coba cek deh siapa yang ngaku aktivis di UIN KHAS Mangli jember. Kira-kira hidupnya gimana, masih parlente atau tidak, rokoknya ngelinting atau udah filter high quality, atau jagan-jangan malah ngevape. Makannya ayam geprek dan burger KFC lengkap satu paket. Ih kampret!
Kedua, soal lingkungan. Apa mungkin ada aktivis yang benar-benar berpihak terhadap kelestarian lingkungan di UIN khas. Ingat ya, kalian apa ngak kepanasan, ngak gerah gitu jika berkunjung ke kampus UIN KHAS. Cobak cek kira-kira para manusia yang melakukan aktivitasnya dalam area kampus itu peduli atau tidak terhadap ekologis. Ya paling Cuma office boy (OB) yang rela pagi dan sore bersih-bersih di kampus, itupun relanya karena digaji. Coba kalau tidak digaji mana mau mereka. Terus rektor, dekan, dosen dan mahasiswa apalagi yang mengklaim dirinya aktivis kira-kira mau tidak tanpa kepentingan apapun, kecuali rasa ikhlas menjaga sirkel ekologi yang simbiosis mutualisme. Antara mahluk kampus tumbuhan, hewan dan sesama mahluk kampus. Nah ini sebenarnya tugas aktivis, kalian pernah ngak berpikir berapa jumlah sampah organik maupun non organik mencemari lingkungan? Gak usah jauh-jauh dilingkungan kampus UIN khas saja. Kalau se-Indonesia angkanya sampai 33.186.583.20 pertahun, silahkan bisa di cek di Sistem Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) kalau kalian gak percaya. Se-Kabupaten Jember 4.024.429.(Wulandari et al., 2020) Itu soal sampah, bagaimana dengan emisi karbon yang dihasilkan dari ruang yang sejuk ber-AC, Mobil pribadi rektor, dekan, dosen dan motor matic hingga vespa yang dikendari mahasiswa dikampus. Ada juga dosen sih, naik sepeda motor yang semuanya menghasilkan karbon dioksida dan membahayakan lingkungan.
Ketiga, soal budaya. Jadi begini yang namanya kampus tentu dalam berbudaya akan cenderung menitikberatkan terhadap pendidikan, penelitian dan pengabdian. Nah, soal budaya diskusi, kajian, adu gagasan dan agenda penguatan wacana kritis itu sudah jadi agenda seremonial belaka disini. Lagi-lagi jangan kaget ya, ini hanya bersifat subjektif kok. Tapi kalau kamu lagi-lagi mimpi jadi aktivis disini mending mikir lagi. Aktivis biasanya kan suka kajian, analisisnya kuat dan tidak menggandrungkan dirinya untuk pola materialis. Coba amati saja, pernahkah kalian berpikir bahwa kenapa kampus kita harus jadi pusat kajian Islam Nusantra. Adakah agenda produktif kampus yang arahnya kesana. Terus apa Islam Nusantara ala UIN Khas itu memiliki kiblat khusus atau hanya sekedar pokoke ya sudah gitu??. Kalau semisal ada mahluk kampus yang bertanya dan ingin mendiskusikan tentang itu mending urungkan pertanyaannya, karena itu gak dianggap penting disini tapi gak tau juga sih. Lebih unik lagi kenapa aktivis gak cocok hidup disini, karena budaya literasi itu ibaratkan hal yang sulit sekali terpublikasi di sini. Biasanya lagi aktivis kan suka diskusi dan mengekspersikannya lewat publikasi gagasannya lewat aksi atau tulisan, Kira-kira ada tidak mahluk kampus yang rutin menpublikasi tulisanya. Ya ada sih paling hanya demi akreditasi, kepangkatan dan curi-curi perhatian ingin viral.
Keempat, soal politik ini yang lucu dan ya kalau bahas ini emang tidak boleh tegang-tegang. Gini, kira-kira kalau kalian memiliki jiwa aktivis maka kalian akan memiliki kepekaan terhadap kekuasaan. Contoh hebat kan rektor kita kemarin dapat rekor muri, lebih dahsyat lagi jasa pak rektor dengan waktu yang cukup cepat dalam tempo yang sesigkat-singkatnya secara seksama dapat memegang amanah menjadi rektor transisi dari STAIN ke IAIN dan IAIN jadi UIN sekarang, Alhamdulillah. Ini soal kekuasaan tingkat stakeholder elit kampus. Yuk gimana kalau tingkat mahasiswa, kira-kira yang sudah hidup lama di kampus ini dan merasakan nasi pecel bu pelor, nasi telor dadar bu marem dan munculnya bu En serta cilok one-nada samping kampus itu pasti tau dan Enek banget kan. Melihat gimana begitu tidak kompetitifnya adu gagasan disini. Yang penting punya masa, ya pasti bisa terpilih jadi ketua. Jauh dari kata aktivitas politik yang cerdasya luar biasa. Ya sama-sama cerdas sehhh, kalau aktivis akan berpikir kapasitasnya untuk jadi pemimpin orgnisasi baik intra maupun ekstra, sedang si pengeklaim aktivis sudah cerdas menutupi betapa bodoh dan tololnya dia dihegemoni oleh akal busuk orang lain.
Kelima, soal ekonomi, kebetulan nih ada fakultas ekonomi dan bisnis Islam. Biar gak ada sentimen terlalu memojokkan dan biar kalian gak tersinggung. Yuk mari kenalan dengan Carl Gustav Jung dan Alfred Adler ituloh yang buat pysikoanalisa yang katanya memiliki tiga penerapan. Satu, metode penelitian dari pikiran. Dua, studi ilmu pengetahuan sistematis mengenai perilaku manusia. Tiga, suatu metode perlakuan terhadap penyakit psikologis atau emosional. Yang katanya memiliki orientasi memahami aktivitas mental dan perkembangan manusia. Kebetulah nih, siapa sih yang tidak keder dengan uang di lingkungan kampus ini. Coba di psikoanalisakan. “Ayo ngaku siapa yang sering mengklaim karya ilmiah orang lain atas nama dirinya untuk hanya ingin dapat cuan. Maen sabet jurnal orang lain demi kepentingan pagkat dan entah apa lah.” Mudah-mudahan tidak ada, jika ada mudah-mudahan segera dapat hidayah. Dan dapet uang yang jelas-jelas halal agar lingkungan pendidikan di kampus ini memang betul-betul se-sakral namanya Universitas Kiai Haji Achmad Siddiq. Bukan begitu para aktivis??
Gimana masih mau melabeli diri sendiri sebagai aktivis di UIN Khas Jember. Sepertinya kamu terlalu Israf deh kalau ngaku aktivis. Gimana gak berlebihan coba, soal sosial, lingkungan, budaya, politik, ekonomi dan lain di UIN Khas itu kurang cocok untuk ide yang utopis ala aktivis yang menacapkan otaknya pada teori ideal statenya Socrates. Apalagi aktivis yang propopulis dan dekat dengan nafas sosialismenya Karl Marx, atau aktivis yang berusaha memahami “cogito ergo sum” dan idealismenya Rene Descartes, emperismenya David Hume, akal budinya Emmanuel Kant, dialektika historisnya Hegel, Ikhya’ Ulumuddinnya Al-Ghazali, Ta’limul Mutaalimnya Azzarnuji, pluralismenya gusdur, aswajanya KH Hasyim Asyari, Karomahnya KH. Holil Bangkalan, hingga bagaimana budi pekerti sang Rasul Muhammad yang sekarang ramai diperingati hari lahirnya.
Hehe, siapa suruh mau jadi aktivis di Uin khas Jember, Aktivis disini masih utopis. Sedangkan keberadaan kamu sudah seperti lirik lagu band Utophia itu loh “Antara ada dan Tiada” atau “La Yamutu Wala Yahya”. Yuk minggat ke eropa, ke amerika dan ke tiongkok saja mereka kan udah bisa pada mikir gimana caranya pergi ke mars, gimana caranya bertahan hidup di bulan dan gimana caranya terus berinovasi. Nah kalau kamu bercita-cita jadi aktivis di UIN Khas Mangli Jember mending kamu cuci muka dulu deh, sepertinya otakmu baru bangun dan ngeh kalau di UIN Khas masih penuh dengan problema pelik yang perlu dilirik dan wajib dikritik demi terciptanya konflik ide dan gagasan bukan konflik atas nama kepentingan, kedudukan dan jabatan.
Sosok aktivis harus mampu mewarnai perubahan dengan menyuarakan kebenaran. Tapi kalau kebenaran sudah diperjualbelikan, maka salah siapa?
BalasHapus