Dear: Bapak-ibuk
Sudah berhari-hari saya sengaja membatasi kegiatan saya. Bukan karena WFH atau apa, lantaran saya memang hendak mengilhami secuil falsafah Antonio Gramsci yang hidupnya menderita dalam krangkeng Fasis Benito Mussolini. Mungkin sedikit berlebihan. Namun, saya akan jelaskan kepada bapak-ibu si pengklaim hegemoni intelektual dan moral yang telah melahirkan butir generasi di tanggal 13-15 februari 2022.
Saya yang begitu pipih soal kapital bukan tak memperhatikan bagaimana geliat bapak-ibuk di luar. Meskipun lewat tutur tinular atau bahkan digital yang butuh validasi. Saya tertarik dengan aksi-aksi yang eksis memenuhi beranda media sosial khususnya dalam region mangli dan radius yang kecil, sempit dan terhimpit oleh cita-cita revolusi tak pernah sampai. Yakni soal episentrum literasi.
Buat bapak-ibuk, saya ulangi silahkan bapak-ibuk ambil kacamata pembesar. Bergayalah seperti ditektif Conan. Meskipun hanya animasi, dipikir ternyata agent seperti bapak-ibuk perlu malu, conan si-cartoon saja bisa, apalagi kalian.
Begitu banyak isu-isu mubadzir yang akhirnya buyar seperti beras jadi bubur yang tak sudi lagi menjadi Karak sekalipun. Mulai betapa tumpulnya analisa bapak-ibuk soal aksi dana sumbangan pendidikan di kampus, invasi russia-ukraina, minyak goreng termonopoli (ikhtikar;), hingga persoalan halal-haram wayang dan isu debat TOA di heningnya malam. Katanya bapak-ibuk adalah cendekia analisa sosial dan rekayasa sosial. Lagi pula background kalian bapak-ibuk adalah generasi ekonom.
Saya cukup menyesal dan perih sekali atas kebodohan historis dan jauh dari dialektika historis yang bapak-ibuk ubah jadi racun bagi generasi kalian. Bukan apa, saya hanya gelisah terhadap realitas dan kemana idealisme kalian. Yang saya dambakan adalah feedback disiramnya kembali bunga perjuangan yang layu itu, bunga yang muncul dari cita-cita kultural soal produksi agent dan reproduksi realitas dari ide kritis rekontruktif kemarin itu.
Saya menyatakan saya bukan Antonio Gramsci yang mungkin ususnya perih dalam penjara tapi berhasil melahirkan tesa hegemoni, saya bukan Habermas yang mencuatkan teori public sphere, saya bukan Anthony Gidden yang paham mengenai strukturasi, saya bukan Michel Foucault yang brilian soal gila dan kegilaan, saya bukan Jacques Derrida yang mashur dengan dekonstruksi. Tapi, saya masih belajar siapa mereka-mereka itu. saya lebih suka jadi pengaku sebagai santri KH. Hasyim Asy'ari, meskipun saya hanya memantas-mantaskan saja.
Maka dari hal tersebut. Dalam penjara realitas ini, saya hanya ingin merdeka. Dengan melihat kalian bapak-ibuk, mampu menebarkan virus atas cita-cita besar kalian dalam bingkai kemashlatan bagi insan ulul albab dan kalian sebagai agent.
_tolong, karena kita sama-sama manusia. Mari kita saling memanusiakan manusia. Terutama saya yang bodoh ini. Salam hormat bapak-ibuk pengibar biru kuning.
Penulis : *penghuni penjara realitas*
Terima kasih telah diingatkan:)
BalasHapus