Mental Health ; Kekerasan Dalam Rumah Tangga
        Oleh : Reihan Hilmi Fandariyansah
       
        Belakangan ini Indonesia digemparkan dengan Kasus KDRT. Kasus ini sebetulnya sudah banyak terjadi di Indonesia, namun kasus KDRT (domestic violence) yg terjadi akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan, hingga menjadi tranding topik di twiter. Kekerasan rumah tangga bukan hanya berkaitan dengan fisik namun juga tentang psikologis.

        Berdasarkan data kementrian PPPA, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. Padahal sudah jelas disebutkan  dalam UU Nomor 23 tahun 2004 bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga, salah satunya kekerasan terhadap istri (KTI).

          Dampak dari kasus KDRT tentu berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Psikiater sekaligus Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Agung Frijanto, SpKJ menyatakan, ada banyak dampak kesehatan mental yang dialami korban KDRT mulai kecemasan hingga memicu risiko gangguan jiwa. Korban KDRT akan mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma, depresi, kecemasan, penyalahgunaan obat, sampai gangguan jiwa.

           Dikutip dari Domestic Violance Prevention Centre Gold Coast Inc anak-anak yang melihat ibunya diancam, direndahkan atau diserang secara fisik dan seksual akan merespon otomatis terhadap kekerasan dengan memanipulasi pelaku yang ingin melukai ibunya. Artinya bukan hanya seorang istri yang menjadi korban KDRT saja yang terkena mentalnya, namun secara tidak langsung berpengaruh juga terhadap kesehatan mental anak. 

         Menurut psikolog Mel Schwartz L.C.S.W yang dilansir dalam Psychology Today, anak-anak cenderung meniru apa yang mereka lihat dalam hubungan orangtua mereka. Anak-anak akan belajar hal yang salah tentang pernikahan. Mereka akan berpikir bahwa pernikahan bukan hal yang menyenangkan, traumatis, bahkan ada kemungkinan ia sulit menjalin hubungan saat dewasa nanti. 
           
         Namun, masih banyak para perempuan yang ingin mempertahankan rumah tangganya dengan alasan demi anak. Seorang anak tentu akan sangat terpukul ketika melihat perceraian yang dialami kedua orang tuanya. Meskipun begitu jika keputusan berpisah tidak diambil, mereka juga harus mengorbankan sesuatu yakni kebahagiaan mereka sendiri. Hubungan yang dijalani tanpa adanya cinta dan kerelaan hanya akan menimbulkan keterpaksaan dan beban.

           Lantas menurut kalian lebih penting mana kesehatan mental seseorang terlindung namun rumah tangga hancur, atau rumah tangga utuh tapi kesehatan mental rapuh ?